Menangkal Efek Negatif Sistem Proporsional Terbuka

Semarang, Idola 92.6 FM – Tetap digunakannya sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2019 cukup memastikan kedaulatan rakyat dalam menentukan wakilnya di lembaga legislative. Namun, efek negatif yang mungkin timbul dari sistem itu tak cukup ditangkal dengan regulasi pemilu yang pekan lalu disetujui DPR untuk menjadi Undang-Undang. Sistem proporsional terbuka merupakan sistem caleg dipilih berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Terkait hal itu, berkaca pada pemilu legislatif tahun 2014, saat sistem yang diterapkan juga proporsional terbuka, tidak sedikit Calon Anggota Legislatif (Caleg) mengeluhkan sikap partai politik yang lebih memprioritaskan caleg bermodal banyak atau popular daripada kader partainya sendiri. Ada pula caleg yang mengeluhkan sengitnya pertarungan yang terjadi. Pertarungan tak hanya antarcaleg antar parpol, tetapi juga antarcaleg di satu parpol.

Sengitnya kompetisi ini membuat sebagian caleg terpancing untuk berkompetisi dengan berbagai cara. Sebagian dari mereka lalu memilih jalan pintas agar terpilih dengan menggelontorkan banyak uang kepada calon pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka. Kondisi ini akhirnya membuat biaya politik makin mahal. Caleg untuk kursi DPR misalnya, harus mengeluarkan sekitar 3 miliar rupiah dalam pemilu 2014.

Lantas, bagaimana menangkal efek negatif sistem terbuka dalam pelaksanaan Pemilu Raya 2019? Benarkah kunci keberhasilan proses demokratisasi dari sistem ini berada pada Parpol? Bagaimana pula mempersempit ruang demokrasi transaksional dalam pelaksanaan Pemilu?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Syamsuddin Haris (peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI) dan Titi Anggraini (Direktur Eksekutif Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi)). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: