Menyoal Kenaikan Tarif Administrasi STNK Dan BPKB

(photo: republika)

Semarang, Idola 92.6 FM – Publik banyak yang terkaget-kaget dengan kenaikan tarif administrasi penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) per 6 Januari 2017. Kenaikan ini beralasan untuk meningkatkan layanan. Namun, di sisi lain, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) dan pengamat kebijakan publik meminta presiden mengeluarkan diskresi untuk membatalkan PP No 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebaga pengganti PP No 50 Tahun 2010.

Pengamat kebijakan publik Yayat Supriyatna mengatakan, Presiden Joko Widodo dinilai memiliki andil untuk mengurungkan rencana kenaikan tarif penerbitan STNK dan BPKB. Menurut Yayat, Jokowi harus turun tangan mengklarifikasi kebijakan pemerintah yang berpotensi meresahkan masyarakat. Dia menilai, rencana kenaikan pengurusan surat-surat kendaraan bermotor itu cenderung terburu-buru dan kurang sosialisasi, sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Ia berharap, Jokowi bisa mencabut PP No 60 Tahun 2016. Toh, Jokowi sebelumnya pernah mengeluarkan diskresi atas rencana kenaikan tunjangan uang muka mobil pejabat tahun lalu. Senada, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mendesak pemerintah membatalkan PP ini.

Tulus mengkritik alasan Menteri Keuangan, Sri Mulyani tentang kenaikan tarif tersebut. Menurut Tulus, inflasi merupakan alasan yang kurang tepat untuk kenaikan STNK dan BKPB. Sebab, STNK dan BPKB merupakan pelayanan publik bukan produk jasa komersial. Menurut dia, kenaikan tersebut juga menjadi kurang seimbang jika tak dibarengi dengan peningkatan pelayanan. Tulus menilai pelayanan pengurusan STNK dan BPKB masih sering dikeluhkan oleh masyarakat.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kenaikan tarif pengesahan STNK dilakukan untuk memperbaiki pelayanan surat perizinan yang dilakukan Polri kepada masyarakat. PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dalam hal ini adalah tarif yang ditarik oleh kementerian lembaga dan harus mencerminkan jasa yang diberikan. Jadi, harus menggambarkan pemerintah yang lebih efisien, baik, terbuka, dan kredibel.

Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif PNBP ini merupakan kewajaran karena terakhir kali tarif tersebut mengalami penyesuaian pada 2010 dan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan terkini yang dinamis.

Sementara itu, terkait sosialisasi, polri mengakui bahwa kenaikan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terkait pengurusan STNK dan BPKB serta membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) memang minim sosialisasi. Peraturan tersebut, di antaranya, penambahan atau kenaikan tarif administrasi untuk pengesahan STNK, penerbitan nomor registrasi kendaraan bermotor pilihan, dan surat izin serta STNK lintas batas negara. Untuk kendaraan roda dua dari Rp 50 ribu menjadi Rp 100 ribu, sementara untuk roda empat dari Rp 75 ribu menjadi Rp 200 ribu.

Kenaikan tarif juga berlaku untuk penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) baru dan ganti kepemilikan (mutasi). Besaran tarifnya, untuk kendaraan roda dua dan tiga dari Rp 80 ribu menjadi Rp 225 ribu, serta kendaraan roda empat dari Rp 100 ribu menjadi Rp 375 ribu. Semua tarif baru tersebut mulai diberlakukan pada 6 Januari 2017.

Lantas, sudah layakkah biaya administrasi penerbitan STNK dan BPKB naik? Sudah optimalkah layanan pengurusan STNK dan BPKB selama ini? Apakah kenaikan ini juga menjamin tak adanya pungli?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi bersama dua narasumber yakni: Johan Budi SP, Juru Bicara Presiden RI dan Yenny Sucipto (Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA)). (Heri CS/Ilustrasi Republika)

Berikut Perbicangannya: