OTT KPK, Lebih Baik Gaduh Tapi Terus Bekerja Atau Sepi Namun Korupsi Jalan Terus?

Semarang, Idola 92.6 FM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak akan berhenti menggelar operasi tangkap tangan para pelaku korupsi selama adanya indikasi dan bukti terjadinya transaksi suap. Nilai dari korupsi tidak akan dilihat tetapi dampak dari korupsi yang merugika masyarakat. Demikian dikemukakan Wakil Ketua KPK Laode Syarif saat menjelaskan operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Batu Malang Jawa Timur baru-baru ini. Pernyataan ini pun seolah merespons pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo yang menganggap praktik pemberantasan korupsi melalui OTT kerap menimbulkan kegaduhan. OTT juga dinilainya tak mampu meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.

Peringatan oleh pimpinan KPK agar para pejabat di pusat dan daerah menghentikan penyelewengan uang negara bukan pertama kali disampaikan. Sejak Januari hingga kini, KPK tercatat telah 15 kali menggelar OTT di berbagai daerah. Jumlah itu mendekati total pelaksanaan OTT selama tahun 2016 sebanyak 17 OTT. Temuan KPK berkaca pada sejumlah OTT yang menimpa kepala daerah, terdapat tren pemberian suap terjadi dengan mengambil 10 persen dari total nilai proyek. Modus suap itu kini mendominasi sejumlah OTT yang dilakukan KPK.

Terakhir, Wali Kota Batu Malang diduga menerima imbalan 10 persen dari nilai pengadaan mebeler di Pemkot Batu sebesar Rp5,26 miliar yang sebelumnya dimenangi PT Dailbana Prima. Imbalan itu diberikan seorang pengusaha sebesar Rp500 juta.

Lantas, menimpali pernyataan Jaksa Agung tentang OTT KPK, lebih baik mana–gaduh tapi terus bekerja? Atau sepi namun korupsi jalan terus? Benarkah temuan KPK benar-benar menjadi fenomena bahwa sesungguhnya tren pemberian suap terjadi dengan mengambil 10 persen dari total nilai proyek?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: