Bagaimana Menanamkan Literasi Keagamaan bagi Generasi Muda di Tengah Ancaman Paham Radikalisme dan Intoleransi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Pendidikan di Indonesia dinilai masih bersifat dogmatik atau mengharuskan diterima sebagai kebenaran termasuk pendidikan terkait keagamaan. Sebaliknya, pendidikan itu mestinya bersifat komparatif dan mengedepankan pemikiran kritis-filosofis. Selain itu, metodologi dan pendekatan yang diterapkan juga masih kurang. Itu menjadi penyebab masyarakat masih banyak yang terlalu egois dan subyektif terutama pada agamanya.

Demikian dikemukakan Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah di sela-sela kegiatan Sekolah Kabudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif di Bogor baru-baru ini. Menurut Amin, ada 3 hal yang perlu dicermati di era saat ini, yakni: pentingnya literasi keagamaan, kesamaan di depan hukum, dan keterbatasan “bahasa” agama. Literasi keagamaan dalam konteks ini adalah mengajarkan agama di ruang publik dalam masyarakat majemuk baik di sekolah, lingkungan tempat tinggal, perguruan tinggi, maupun pengajian.

Di sisi lain, di kalangan perguruan tinggi, tujuan mata kuliah dasar umum untuk membantu perkembangan kepribadian mahasiswa agar mampu berperan di tengah masyarakat, bangsa, dan agama dinilai masih gagal. Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dinilai tak serius mengelola mata kuliah dasar umum (MKDU) bagi mahasiswa padahal ini menjadi dasar dan benteng untuk menjaga nilai dasar bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Umumnya, MKDU yang diajarkan terdiri dari mata kuliah Pancasila, agama, kewirausahaan, pendidikan sejarah kebangsaan, ilmu sosial dasar, dan ilmu budaya dasar.

Lantas, bagaimana menanamkan literasi keagamaan bagi generasi muda di tengah berbagai ancaman paham radikalisme dan intoleransi? Bagaimana pula, idealnya metode penerapan mata kuliah umum untuk membantu perkembangan kepribadian mahasiswa agar mampu berperan di tengah persoalan masyarakat dan bangsa?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Amin Abdullah (Guru Besar dalam Ilmu Filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Halili (peneliti Setara Institute/Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY). [Heri CS]

Berikut diskusinya: