Bagaimana Mengoptimalkan Program Pencegahan Radikalisme di Perguruan Tinggi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Tertangkapnya tiga alumni Universitas Riau, Pekanbaru, Sabtu (2/6/2018) oleh Tim Densus 88 membuat kita prihatin. Kasus ini seolah menambah rapor merah institusi pendidikan khususnya perguruan tinggi di Indonesia. Kita bisa membaca, dari Riau–lonceng peringatan ancaman radikalisme di lingkungan kampus yang notabene tempat bernaung kaum terdidik–kini betul-betul nyata.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Prof Mohamad Nasir menyatakan, kasus yang terjadi di Kampus Universitas Riau juga bisa terjadi di kampus-kampus lain. Untuk itu, dibutuhkan pengawasan dan upaya pencegahan dari pihak kampus. Ia pun berencana memanggil seluruh Rektor beserta Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) seluruh Indonesia untuk duduk bersama membahas sistem kurikulum, rekrutmen dosen dan mahasiswa hingga pengamanan kampus.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, perlu upaya untuk mensterilkan kampus dari paham radikalisme. BNPT dan BIN perlu menjalin kerja sama dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Kampus yang diduga terpapar juga mesti dilibatkan. Ia memandang, perlu dikembangkan pendekatan lunak alias soft approach terkait penangkalan paham radikal di lingkungan kampus. Sebab, mayoritas mahasiswa sebenarnya berasal dari lingkungan keluarga moderat.

Lantas, bagaimana mengoptimalkan program pencegahan radikalisme di Perguruan Tinggi? Upaya seperti apa yang diperlukan untuk mensterilkan kampus dari paham radikalisme? Apa sesungguhnya pokok persoalan yang membuat radikalisme tumbuh subur di sebagian perguruan tinggi kita?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Wawan Hari Purwanto (Direktur Komunikasi dan Informasi BIN/pengamat terorisme dan intelijen) dan Prof. Muhammad Bisri, MS (Rektor Universitas Brawijaya (UB) Malang). [Heri CS]

Berikut diskusinya: