Bagaimana Mewujudkan Sekolah Sebagai Mikrokosmos Kebinekaan?

Semarang, Idola 92.6 FM – Di era percepatan industri di beberapa daerah dan kota di Indonesia, migrasi telah mengubah populasi peserta didik di sekolah-sekolah di Indonesia. Sekolah-sekolah di Sumatera Utara misalnya anak-anak Batak duduk di kelas yang sama dengan anak-anak Melayu, Minang, dan Jawa yang orangtuanya bermigrasi ke daerah tersebut.

Sementara di Timika, anak-anak Amungme dan Kamoro mesti belajar bersama dengan anak-anak Bugis, Jawa, Flobamora karena industri pertambangan PT Freeport Indonesia sudah menjadi magnet ekonomi bagi para pendatang.

Menurut Guru Besar Unika Widya Mandala Surabaya Prof Anita Lie, sekolah seharusnya menjadi mikrokosmos kebinekaan Indonesia dimana setiap anak bebas mengungkapkan jati diri suku, budaya, adat istiadat, bahasa ibu, agama dan asal daerah. Alih-alih mengajak semua anak untuk saling menghargai perbedaan banyak guru masih harus banyak belajar mengenai keragaman Indonesia dan mengasah keterampilan mengelola dinamika kelas. Sebagian guru masih terjebak pada zona nyaman mereka sendiri dan tidak berupaya memahami siswa-siswa yang berbeda.

Prof Anita Lie.

Masih menurut Prof Anita Lie, di kebanyakan sekolah, anak masih belajar hanya pada tahap mengembangkan toleransi. Sayangnya, toleransi ini sering kali berhenti pada tahapan tidak saling mengganggu, tenggang rasa, dan menahan diri. Ia belum sampai pada mengembangkan empati atau bela rasa. Misalnya, ketika saudaraku merasa terluka aku juga ikut terluka. Ketika guruku tidak memberikan kesempatan kepada saudaraku untuk melakukan ritual agamanya yang berbeda, maka aku merasa terusik. Pendidikan berwawasan sesungguhnya terkait erat dengan pendidikan karakter. Sebab, belajar menghargai perbedaan membuat seseorang melihat orang lain sebagai sesama manusia.

Lantas, di era percepatan industri di berbagai daerah, bagaimana menanamkan karakter berwawasan kebangsaan dalam dunia pendidikan? Model kebangsaan-multikulturalisme seperti apa yang bisa diterapkan untuk menanamkan pendidikan berwawasan kebangsaan? Bagaimana pula, mengembangkan empati atau bela rasa pada anak-anak di sekolah?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Anita Lie (Guru Besar Unika Widya Mandala Surabaya) dan pengamat pendidikan Indra Charismiadji. [Heri CS]

Berikut diskusinya: