Demokrasi di Era Absurditas Politik: Bagaimana Keluar Dari Dominasi Legal Formal dan Lebih Mengedepankan Etika Moral?

Semarang, Idola 92.6 FM – Suatu ketika dalam satu seminarnya, seorang motivator mengisahkan pengalaman pribadinya saat pertama kali datang ke Singapore. Waktu itu, setiba di Changi Airport, ia segera bergegas menumpang taksi dan minta diantar ke suatu alamat. Entah bagaimana ceritanya, penumpang maupun si sopir taksi sama-sama tidak tahu persis lokasi yang dimaksud. Maka setelah sempat beberapa kali putar arah dan salah jalan, akhirnya taksi itu pun sampai ke tujuan dengan selamat.

Saat itu, argo menunjukkan angka $50. Ia pun segera menyerahkan lembaran uang lima puluh Sing Dollar kepada si sopir taksi. Tapi, sesuatu yang aneh terjadi. Si sopir taksi memberikan uang kembalian sebesar $10, yang membuat bingung si penumpang,

“Loh, Bapak berhak atas bayaran sebesar lima puluh Sing Dollar!” begitulah kira-kira terjemahan bebas, ungka sang motivator dengan heran. Sopir taksi pun langsung menimpali: “Iya.., legaly saya memang berhak atas 50 dolar, tapi eticaly, sebagai sopir taksi, tugas saya adalah mengantar penumpang dari satu tempat ke tempat tujuan secara langsung. Tetapi karena tadi kurang tahu persis lokasi alamat yang dituju, maka saya sempat berputar-putar dulu, sehingga menyebabkan argonya menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.”

Sebuah spirit yang mudah-mudahan dapat mengingatkan kita kembali, tetang adanya “sesuatu” yang jauh lebih tinggi dan lebih mulia, melampaui persoalan legalitas, ketentuan hukum dan peraturan-peraturan formal. Sesuatu―yang secara tak kasat mata selalu menjadi pengawas sekaligus penuntun langkah kita. Ia membatasi perilaku kita agar jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak boleh atau salah, dan sebaliknya, ia mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang patut, baik dan benar! Sesuatu itu kita kenal dengan nama Etika! “Doing the right thing, with the right reason,” itulah etika

Itulah sepenggal kisah untuk menunjukkan perbedaan antara legal dan etis. Dua hal itu kini mendera dunia politik kita. Bangsa ini tampaknya memasuki era politik yang kian absurd. Politik yang terlalu mengedepankan aspek legal tetapi mengabaikan etika dan moralitas. Akal sehat pun terpinggirkan. Data sementara, hasil pemilihan kepala daerah 27 Juni 2018 lalu menunjukkan tren memprihatinkan dari sisi pemberantasan korupsi.

Kita melihat fakta, meskipun tidak mayoritas di beberapa daerah, misalnya di Kabupaten Tulungagung dan Provinsi Maluku Utara. Di dua daerah tersebut, calon kepala daerah yang berstatus tersangka dan ditahan KPK memenangi pemilihan kepala daerah. Keduanya adalah Syahri Mulyo dan Ahmad Hidayat Mus.

Melihat tahapan politik, ke depan kita akan disuguhi pertunjukan politik menarik. Sesuai dengan UU Pilkada, keduanya akan dilantik. Nah, khusus untuk gubernur terpilih, pelantikannya akan dilakukan di istana Negara oleh Presiden. Dalam kasus ini, kita akan melihat, pemimpin yang terpilih akan keluar dari penjara untuk dilantik dalam status masih menjadi tersangka dan dan ditahan KPK.

Lantas, melihat realitas absurditas politik ini, bagaimana membangun paradigma sikap, dan perilaku yang lebih mengedepankan etika moral daripada hal yang legal formal dalam dunia politik? Siapa yang mesti memulai kesadaran mengedepankan etika moral tersebut?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ray Rangkuti (Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima)) dan Bayu Dwi Anggono (praktisi hukum, dosen Hukum Tata Negara Universitas Jember). [Andi Odang/Heri CS]

Berikut diskusinya: