Membaca Peta Politik Baru Malaysia Pasca Mahatir Muhammad Menduduki Kembali Kursi Perdana Menteri

Semarang, Idola 92.6 FM – Era baru hadir di Malaysia. Setelah lebih dari enam dekade berkuasa, koalisi pendukung pemerintah kalah dalam Pemilu 2018. Mahathir Mohamad dinyatakan kembali terpilih sebagai perdana menteri Malaysia setelah koalisinya, Pakatan Harapan, memenangkan pemilihan umum. Ia dipastikan mendapatkan lebih dari 112 kursi parlemen, mengalahkan petahana Najib Razak yang diusung Barisan Nasional.

Mahathir Mohamad, yang berusia 92 tahun, telah memimpin koalisi oposisi meraih hasil pemilihan umum paling luar biasa dalam sejarah Malaysia. Petahana Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pun menerima “keputusan rakyat” setelah koalisi partai yang berkuasa gagal mendapatkan suara mayoritas dalam pemilu di Malaysia.

Dalam pemilu Malaysia, terdapat 222 kursi parlemen yang diperebutkan. Koalisi atau partai yang berhasil mendapatkan 112 kursi menjadi mayoritas dalam parlemen dan berhak membentuk pemerintahan serta menunjuk perdana menteri. Mahathir yang sempat berkuasa selama dua dekade lebih dulu memenangkan kursi parlemen dari daerah konstituennya di Langkawi, melanggengkan jalannya menuju kursi perdana menteri.

Pemilu kali ini menjadi tonggak sejarah bagi Malaysia, bukan hanya karena pertama kali rezim Barisan Nasional digulingkan sejak merdeka, tapi juga persatuan kembali Mahathir dan kubu Anwar Ibrahim di puncak kepemimpinan. Kedua tokoh besar tersebut adalah musuh bebuyutan sejak dua dekade silam, setelah Mahathir memecat Anwar dari jabatan wakil perdana menteri ketika ia masih menjabat sebagai orang nomor satu di Malaysia.

Lantas, bagaimana arah baru politik di Malaysia? Apa faktor yang membuat partai yang telah berkuasa selama 60 tahun bisa ditumbangkan oleh oposisi? Kalangan pengamat menilai kemenangan mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad dari Najib Razak dalam pemilihan umum Malaysia sebagai kemunduran demokrasi, Benarkah? Akankah konstelasi Malaysia ini akan berdampak bagi hubungan politik dengan Indonesia? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Pengamat Hubungan Internasional Dinna Wisnu, PhD. [Heri CS]

Berikut wawancaranya:

Artikel sebelumnyaKetika Membangun Infrastruktur Saja Tak Cukup, Bagaimana Mestinya Skema Pembangunan Nasional Kita?
Artikel selanjutnyaTerkait Kaos #2019GantiPresiden, Mendagri: Masyarakat Harus Bisa Beretika Politik