Mencari Titik Episentrum Persoalan Korupsi Kolektif antara Eksekutif dan Legislatif

Semarang, Idola 92.6 FM – Korupsi kolektif yang melibatkan eksekutif dan legislatif di daerah sudah menjadi persoalan berulang yang berdampak pada terganggunya efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tanpa menyelesaikan episentrum persoalan dengan menyehatkan partai politik, kondisi ini akan terus terjadi dan membuat publik menjadi antipasti.

Kita ketahui, Rabu (21/03/2018), KPK menetapkan 18 anggota DPRD Kota Malang dan Wali Kota Malang non aktif Mochamad Anton sebagai tersangka baru perkara dugaan suap APBD tahun 2015 Kota Malang. Dua tersangka di antaranya calon wali kota dalam Pemilihan Kepala Daerah Kota Malang yakni Anton dan Ya’qud Ananda Gudban-Ketua Fraksi Hanura-PKS DPRD Kota Malang.

Dua Wakil Ketua DPRD Kota Malang yakni HM Zainudin dan Wiwik Hendri juga menjadi tersangka dalam perkara ini. Dalam perkara ini, dari 50 anggota DPRD Kota Malang, sebanyak 18 di antaranya menjadi tersangka. Sejumlah kalangan menilai, apa yang terjadi di Kota Malang juga terjadi di daerah-daerah lain. Ibarat kata–korupsi berjamaah yang seolah dilegalkan melalui kompromi elit politik.

Lantas, ibarat korupsi adalah gempa dahsyat, di mana sebenarnya Titik Episentrum atau Pusat persoalan korupsi kolektif yang melibatkan kongkalikong antara eksekutif dan legislatif? Di tengah lingkaran itu pula, bagaimana menjamin agar kinerja Pemda tetap efektif berjalan dan tak merugikan rakyat?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Syarif Hidayat (Peneliti Senior Politik Pemerintahan Daerah LIPI) dan Aan Eko Widiarto (Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang).

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaEkonomi Syariah di Jateng Mulai Tumbuh
Artikel selanjutnyaWacana Menghidupkan GBHN, Seberapa Mendesak dan Relevankah?