Menimbang Plus-Minus Tak Adanya Perubahan APBN 2018

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah memutuskan tidak mengubah APBN 2018 kendati beberapa asumsi dasar makro jauh dari kondisi riil saat ini. Pertimbangannya antara lain realisasi pendapatan Negara dan penyerapan belanja Negara. Keputusan ini merupakan upaya pemerintah menjaga espektasi pasar.

Diketahui, sampai dengan akhir Mei 2018, realisasi pendapatan Negara Rp685,09 triliun atau tumbuh 15,33 persen dibandingkan dengan periode yang sama periode lalu. Adapun realisasi penyerapan belanja negara Rp779,51 triliun atau tumbuh 7,28 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakinkan, postur APBN 2018 masih bisa dipertahankan. Menurutnya seluruh kebutuhan belanja yang direncanakan tahun ini tetap berjalan. Bahkan, pemerintah akan mengakomodasi beberapa tambahan belanja terutama untuk Asian Games 2018 dan kebutuha mendesak lain. Menkeu menyatakan, tidak adanya perubahan APBN 2018 pada tahun ini merupakan bagian dari upaya menjaga pasar. Masyarakat dan pelaku usaha merasa aman berinvestasi di Indonesia karena pemerintah bisa mengelola anggaran dengan baik.

Sri Mulyani.

Rencana pemerintah ini tak luput dari kritik. Wakil Direktur Institute for Development of Economics anda Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai, keputusan pemerintah tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap realisasi target pertumbuhan ekonomi RI.

Pada triwulan 1 tahun 2018, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen terutama ditopang kenaikan harga komoditas di pasar global. Kebijakan itu justru mendorong ketidakpastian nasional meningkat yang bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Lantas, menimbang tak adanya perubahan APBN 2018-apa plus dan minusnya? Akankah ini berdampak bagi ekonomi kita ke depan? Di sisi lain, di tengah gejolak ekonomi global, tidakkah ini berpotensi memicu ketidakpastian?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Eko Listiyanto (Wakil Direktur Institute for development of Economics and Finance (INDEF)) dan Mohammad Faisal (Direktur Eksekutif CORE (Center of Reform On Econimics) Indonesia). [Heri CS]

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaKembalinya Artis ke Panggung Politik, Mampukah Popularitas Mengerek Elektabilitas?
Artikel selanjutnyaLoan To Value Tak Pengaruh Bagi Jateng, REI Sebut Itu Hanya Bisa Diterapkan di Jakarta