Bagaimana Membangun Narasi sebagai Bagian dari Edukasi Publik agar Bersikap Antikorupsi dan Tak Permisif?

Ilustrasi

Semarang, Idola 92.6 FM – Korupsi adalah musuh utama bangsa ini! Ibaratnya, korupsi memotong nadi bangsa. Kini, sikap dan pandangan yang permisif terhadap perilaku korupsi menjadi musuh terbesar pemberantasan korupsi di samping persoalan sistem dan karakter penyelenggara negara.

Menakar problem pelik korupsi—kita mengingat istilah “fight against” dan “fight for”. Dahulu ada penjajah dan kolonialisme sebagai musuh bersama. Mulai dari Belanda hingga Jepang. Sehingga, fight against jadi lebih mudah karena musuhnya tampak nyata. Namun, beda dalam konteks sekarang–bentuk perjuangan kita adalah fight for—perjuangan untuk menuju Indonesia makmur berkeadilan—adil berkemakmuran.

Ini tentunya perjuangan yang lebih sulit ketimbang fight against mengingat tantangannya lebih kompleks. Untuk menuju Indonesia makmur berkeadilan—adil berkemakmuran salah satu pintunya adalah bersih dari korupsi. Dan, celakanya, masyarakat kita justru bersikap permisif. Hal ini berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Kompas, baru-baru ini. Kalau problem ini tak mampu diatasi, kita akan terancam menjadi negara maju di usia emas seabad pada 2045 mendatang.

Lantas, manakala pemberantasan korupsi terhadang sikap permisif masyarakat. Bagaimana membangun narasi sebagai bagian dari edukasi publik agar bersikap anti dan menolak korupsi? Upaya apa pula yang harus kita lakukan agar seluruh elemen bangsa bahu-membahu melakukan “fight for” atas persoalan korupsi ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof PM Laksono (Antropolog dari UGM Yogyakarta), Abdul Fickar Hadjar (Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta); dan Dadang Trisasongko (Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia). (Heri CS)

Berikut wawancaranya: