Bagaimana Mengatasi Defisit Perdagangan Kita yang Dalam Sejarah Mencatat Rekor Tertinggi?

Jokowi.

Semarang, Idola 92.6 FM – Kekhawatiran terhadap angka defisit perdagangan yang mencatat rekor tertinggi dan juga defisit transaksi berjalan menjadi momok perekonomian akhir-akhir ini. Desakan kepada pemerintah agar lebih tegas dan serius mengatasi defisit ini guna menekan dampak terhadap ekonomi secara keseluruhan pun menguat. Defisit perdagangan menurut BPS tercatat 8,57 miliar dollar AS atau setara dengan Rp120,6 triliun pada tahun 2018. Angka ini tertinggi sejak tahun 1975.

Buruknya kinerja neraca perdagangan ini diakibatkan oleh peningkatan impor sebesar 20,2 persen yang jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan ekspor yang HANYA mencapai 6,7 persen. Defisit perdagangan ini, menurut pemerintah disebabkan defisit neraca migas, terutama akibat meningkatnya kebutuhan akan impor minyak mentah dan bahan minyak.

Meski demikian, sejumlah ekonom juga menyorot kinerja neraca non-migas yang—meski masih surplus, angkanya juga menyusut. Penyusutan surplus neraca non migas ini akibat meningkatnya impor non-migas. Untuk ekspor non migas meski terjadi penurunan harga komoditas dan permintaan dari negara tujuan utama ekspor, angkanya masih positif.

Membengkaknya defisit perdagangan pada satu sisi mendapatkan pembenarannya—baik dari sisi faktor situasi global maupun dalam negeri. Namun, di sisi lain, kita tidak bisa membiarkan hal ini berkelanjutan karena potensinya dalam menekan posisi neraca transaksi berjalan, nilai tukar, dan memunculkan kerentanan pada perekonomian.

Lantas, melihat kondisi ini—dimana defisit perdagangan kita mencatat rekor tertinggi—upaya apa yang bisa mengatasinya? Apa kemungkinan dampak terburuk jika kondisi ini terus terjadi selama beberapa waktu ke depan? Apa faktor yang memicu perdagangan kita masih defisit? Bagaimana upaya mitigasi untuk mengantisipasi dampak buruknya?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Mohammad Faisal, Ph.D (Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia) dan Kiki Verico.,Ph.D (Wakil Kepala LPEM FEB Universitas Indonesia). (Heri CS)

Berikut wawancaranya:

Artikel sebelumnyaEvaluasi Debat Paslon Presiden, Apa yang Perlu Diperbaiki KPU agar Debat Lebih Berkualitas?
Artikel selanjutnyaPercepat Pencetakan, Pemprov Jateng Minta Dikirim 1 Juta Blangko KTP Elektronik