Bagaimana Merawat Demokrasi agar Tak Disusupi Oligarki?

Semarang, Idola 92.6 FM – Sebuah utopia merupakan komunitas atau masyarakat khayalan yang memiliki kualitas yang sangat diinginkan atau hampir sempurna untuk warganya. Kebalikan dari utopia adalah dystopia. Bagi sebagian orang, utopia menjadi sebuah harapan akan kondisi ideal di masa mendatang –dan dengan itu, ia menjadi energi positif untuk terus berupaya mewujudkannya.

Namun, akhir-akhir ini kita seolah melihat, melalui polah tingkah elite politik — mimpi dan harapan yang menghidupkan itu seolah diusik. Rakyat berharap akan hadirnya masa yang lebih baik pun seolah tak berhak. Diusik oligarki kekuasaan yang dipertontonkan kaum elite.

Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah elite partai politik mempertontonkan manuver politik. Antar partai berebut jatah kursi menteri—bahkan tanpa malu-malu seolah merayu presiden agar diberi jatah kekuasaan menteri lebih banyak. Kita mafhum bahwa menteri adalah jabatan politis—namun, bukankah mestinya praktik itu tak perlu diumbar dengan teramat mencolok di hadapan rakyat. Rakyat seolah hanya alat legitimasi kepentingan kekuasaan mereka. Setelah terpilih, rakyat dilupakan!

Segaris lurus dengan fenomena itu, baru-baru ini dalam orasi budaya di sela-sela perayaan Hari Ulang Tahun ke-25 AJI di Jakarta (07/08/2019), budayawan Garin Nugroho menyentil perilaku elit politik tersebut, revolusi industri berbasis teknologi terkait erat demokrasi dan korporasi ekonomi. Kenyataan ini melahirkan pertanyaan, apakah benar proses demokrasi yang terjadi untuk rakyat, oleh rakyat, dan dari rakyat? Atau sebaliknya, oleh elite kekuasaan, bagi kekuasaan, dan dari kekuasaan atau oleh korporasi, bagi korporasi dan dari korporasi?

Terkait persoalan ini, kita seolah ingin menggugat—benarkah rakyat masih hanya sebatas alat legitimasi elit politik? Bagaimana pula merawat demokrasi agar tak disusupi oligarki? Upaya apa lagi yang mesti terus dilakukan untuk mendorong demokrasi substansial ketimbang prosedural?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kita akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Prof Siti Zuhro (peneliti Politik dari LIPI) dan Dr Charles Simabura (peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (Pusako)/ Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang). (Heri CS)

Berikut diskusinya: