Merefleksi Hari Raya Idul Adha, Bagaimana Mengkoversi Makna Berkurban di Tengah Berbagai Persoalan Bangsa?

Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Idul Adha merupakan salah satu hari besar Islam yang disertai dengan ibadah Haji bagi yang mampu. Selain itu, perayaan hari raya idul Adha juga disertai dengan penyembelihan hewan kurban bagi yang berpunya. Idul Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebaikan umat manusia pada masa lalu.

Dalam konteks sejarah, Hari Raya Kurban berarti refleksi atas ketulusan dan loyalitas Nabi Ibrahim terhadap perintah-perintah Allah SWT. Intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya โ€˜Hajjโ€™, ibadah ritual Kurban bukan sekadar memiliki makna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama manusia, terutama mereka yang tergolong sebagai kaum dhuafa dan marginal.

Ali Syariati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas kemusnahan dan kematian ego. Berkurban berarti menahan diri dari, dan berjuang melawan, godaan ego. Kurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah lambang dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia.

Ibadah Kurban juga memiliki pesan bahwa umat Islam diharuskan lebih mendekatkan diri dengan kaum dhuafa (kaum miskin) dan lebih mengutamakan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan social. Lantas, merefleksi hari raya Idul Adha, bagaimana mengkonversi spirit berkurban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Sudahkah kita benar-benar memahami makna berkurban sesungguhnya? Bagaimana pula menerjemahkan kesalehan social dalam kehidupan sehari-hari?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang Mukhsin Jamil. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: