Bagaimana Mestinya Negara dalam Menghadirkan Rasa Aman bagi Rakyatnya?

Semarang, Idola 92.6 FM – Reformasi 1998 merupakan puncak letupan “kekesalan” masyarakat Indonesia pada gaya pemerintahan otoritarianisme ala Orde Baru. Otoritarianisme kala itu salah satunya ditandai dengan upaya membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi para pengkritiknya. Beberapa upaya yang dilakukan melalui upaya kriminalisasi.

Selain itu, senjata ampuh yang kerap dipakai Orde Baru adalah jargon Demokrasi Pancasila. Soeharto mencap semua orang yang menentangnya berarti menentang Pancasila. Anti-Soeharto berarti anti-Pancasila. Soeharto juga memanfaatkan Pancasila untuk menekan lawan-lawan politiknya.

Namun, kini, setelah 21 usia reformasi bahkan ketika reformasi belum kunjung mencapai substansi tujuan, muncul sebuah kebijakan pemerintah yang seolah setback ke belakang. Kebijakan itu ditelurkan melalui Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan. Menkopolhukam Wiranto membentuk Tim Asistensi Hukum yang memicu polemic. Tim itu akan bertugas melakukan pengawasan dan penilaian terhadap percakapan para tokoh di media sosial. Jika dinilai ada yang melanggar hukum, tim tersebut juga diberi wewenang untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum.

Banyak pihak menilai, langkah Wiranto sebagai bentuk memberantas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan esensi dari kehidupan berdemokrasi.

Terkait itu, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, negara seharusnya bertindak untuk menghadirkan rasa aman kepada seluruh rakyatnya. Selain menghadirkan perlindungan, Refly juga menyebut negara harus hadir dengan keadilan dalam konteks perbedaan pendapat. Negara tidak boleh beda dalam memperlakukan pihak yang mendukung, maupun pihak yang oposan.

Menurut Refly, kewajiban negara itu melindungi segenap bangsa, bukan menakuti, apalagi mengancam. Negara harus adil memperlakukan semua warganegara, baik yang sependapat maupun yang berbeda pendapat. Negara harus adil dan mengayomi semua rakyat tanpa terkecuali.

Lantas, menakar pembentukan Tim Asistensi Hukum Pemerintah, untuk menghadirkan rasa aman mestikah pemerintah mengendalikan ucapan dan tindakan para tokoh? Bagaimana posisinya dengan iklim demokrasi yang selama ini kita junjung tinggi pasca reformasi? Lalu, bagaimana seharusnya negara bertindak untuk menghadirkan rasa aman—ketika sebagian rakyat berbeda pendapat dan mengkritisi kebijakan pengelola Negara?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Refly Harun (pengajar hukum UGM yang juga praktisi hukum Konstitusi) dan Asfinawati (ketua umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)). (Heri CS)

Berikut diskusinya: