Mencermati Motif dan Orientasi Usulan Presiden Kembali Dipilih MPR?

Ilustrasi
Ilustrasi Detik.com

Semarang, Idola 92.6 FM – Selama kurang lebih 15 tahun, masyarakat Indonesia menikmati buah manis reformasi untuk memilih secara langsung presiden, wakil presiden, dan kepala daerahnya. Namun, hal itu, kini terancam melalui wacana yang mengemuka untuk mengubah sistem pemilihan langsung menjadi tidak langsung. Ini bisa dimaknai—sebagai alarm langkah mundur demokrasi.

Sejak pertama kali diusulkan PDI Perjuangan secara terbuka dalam kongres di Bali Agustus 2019, wacana Amendemen UUD 1945 kini bergulir bak bola yang tak tentu arah. Amendemen yang awalnya sebatas menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk menjaga kesinambungan program pembangunan nasional, kini melebar. Hal itu mulai dari usulan memperpanjang masa jabatan presiden-wakil presiden sampai usulan mengganti sistem pemilihannya menjadi tidak langsung.

Wacana terbaru agar pemilihan presiden kembali dipilih MPR itu mengemuka setelah pertemuan pimpinan MPR dengan jajaran pimpinan PBNU Rabu 27 November 2019. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj merujuk pada rekomendasi Musyawarah Nasional dan Konfrensi Besar Ulama NU tahun 2012 di Cirebon–yang antara lain menyebutkan perlunya pemilihan kepala daerah oleh DPRD mengingat dampak buruk pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih besar daripada manfaatnya.

Lantas, mencermati motif dan orientasi di balik usulan presiden dipilih kembali oleh MPR. Munculnya pandangan untuk presiden kembali dipilih oleh MPR– apakah itu muncul murni di-triger oleh situasi atau kegemparan kondisi—atau semata romantisme masa lalu? Lalu, ketika publik tak setuju diajak mundur ke belakang—adakah tools atau presseur group yang dimiliki publik untuk mengucap bahwa publik tidak setuju?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti kita akan berdiskusi dengan beberapa narsumber, yakni: Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun; Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil; dan Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini. (Heri CS)

Berikut diskusinya: