Paradoks Narasi Lingkungan, Apa Upaya yang Mesti Dilakukan agar Narasi di Panggung Internasional Selaras dengan Kebijakan dan Kenyataan?

Paradox (Ilustrasi)

Semarang, Idola 92.6 FM – Kita seolah hidup di tengah bangsa yang bergelimang dalam paradoks—termasuk di dalam persoalan lingkungan. Kritik reflektif itu dikemukakan Guru Besar Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata-Budi Widianarko dalam opininya di Kompas (17/10/2019). Paradoks itu begitu gamblang terkait lingkungan.

Pada suatu momen, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memaparkan catatan “heroik” pemerintah Indonesia di kancah global dalam pasal perubahan iklim. Namun, pada keesokan harinya, kita melihat kisah pilu Kampung Bengek di Penjaringan, Jakarta Utara—yang berdiri di atas dan dikepung timbunan sampah kota.

Menurut Prof Budi, di satu sisi Pemerintah Indonesia begitu bersemangat menjadi bagian dari solusi global untuk mengatasi perubahan iklim—lengkap dengan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen tetapi di sisi lain pemerintah yang sama beserta pemerintah daerahnya gagal menyelamatkan warga dan ekosistem perkotaan dari serbuan sampah dan limbah. Melihat realitas ini, kita seolah kesulitan menyebutnya sebagai apa. Paradoks? Ironi? atau malah komedi lingkungan?

Lantas, apa upaya yang mesti dilakukan agar narasi di panggung internasional selaras dengan kebijakan dan kenyataan di tataran persoalan lokal? Soal nomenklatur kementerian Lingkungan Hidup, perlukah dipisahkan dari Kementerian Kehutanan? Mengingat ada kerancuan– yang satu pihak pengawas dan di lain pihak yang diawasi pengawas?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Benny D Setianto (ahli Hukum Lingkungan/ Wakil Rektor Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang dan Prigi Arisandi (aktivis lingkungan dari Surabaya/ Direktur eksekutif ECOTON). (Heri CS)

Berikut diskusinya: