Ketika Manusia Berhasil Mendigitalisasi Ruang, Waktu, dan Materi

Paradoks Lambatnya Pelayanan Publik di Era Revolusi Industri 4.0

Layanan Publik

Semarang, Idola 92.6 FM – Seperti bunyi pepatah, “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya,” begitulah kualitas layanan publik di Indonesia jika dibandingkan dengan di negara-negara di kawasan Skandinavia. Ketika di sana kualitas pelayanan publik tak hanya sekadar ditujukan untuk memuaskan—tapi bahkan untuk membahagiakan masyarakat yang dilayaninya. Di Indonesia, boro-boro membahagiakan, sekadar niat untuk mewujudkan kepuasan masyarakat saja, belum ada.

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan, pelayanan pemerintah masih berbelit, lambat, mahal, tidak pasti, dan melelahkan. Tanpa sadar bahwa sekarang ini kita tak lagi hidup di zaman kolonial—di mana para Pangreh Praja boleh berbuat semaunya—dan para kawula rakyat jelata harus rela nrima. Kalau perlu, para kawula rakyat jelata itu mesti sudah harus bersujud syukur—hanya karena tidak dipaksa untuk membawakan upeti bagi junjungannya.

Tetapi kini, zaman sudah berganti. Masyarakat sudah pintar dan tahu posisi, bahwa merekalah yang mesti dilayani, bukan diminta untuk memaklumi. Di era digital ini, bahkan seluruh masyarakat terbiasa memperoleh lpeayanan yang tidak hanya cepat, tetapi bahkan nyaris instan! Baik ketika berbelanja, memesan mobil angkutan, pesan makanan, booking hotel hingga cari tiket kereta dan pesawat, semuanya tinggal klik, dan dalam waktu sekejap, pesanan sudah datang. Sehingga “penundaan berlarut” dalam pelayanan publik, seakan membawa kita setback ke zaman purba.

Alamsyah Saragih
Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman Ahmad.

Terbaru, Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan, sepanjang 2019, Ombudsman menerima laporan masyarakat sebanyak 7.903 laporan. Dari jumlah itu, “penundaan berlarut” dalam pelayanan publik, mendominasi malaadministrasi yang diadukan masyakarat kepada Ombudsman Republik Indonesia, (33,62 persen).

Sementara itu, urutan kedua laporan terbanyak berupa penyimpangan prosedur sebesar 28,97 persen atau lebih dari 1.500-an laporan. Kemudian, maladministrasi dalam bentuk tidak memberikan layanan 17,7 persen atau sebanyak 967 pengaduan.

Menurut Saragih, bentuk maladministrasi serupa mendominasi laporan masyarakat kepada Ombudsman di tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja bedanya, titik pangkal persoalan kini tidak lagi di pemerintah tetapi pada petugas yang berjaga di lini depan pelayanan. Adapun, pemerintah, sudah mencoba untuk memberikan akses dan pelayanan terbaik.

Baca juga:

Padahal, sekali lagi, kita telah berada di era Revolusi Industri 4.0 yang dengan internet—manusia mampu “meniadakan batas antar negara” dan berhasil mendigitalisasi waktu, ruang, dan materi. Bahkan, presiden Jokowi sendiri sering berpesan, bahwa “Bukan lagi negara besar yang akan mengalahkan negara kecil. Bukan juga negara kuat akan mengalahkan negara lemah. Tetapi, negara yang cepat lah yang akan mengalahkan negara yang lambat. Oleh sebab itu kita harus cepat!”

Maka, pertanyaan kita kemudian, apakah digitalisasi dalam pelayanan publik masih dirasa belum perlu dilakukan? Haruskah lambatnya pelayanan publik—yang dapat bermuara pada lambatnya perputaran roda pembangunan dan pergerakkan ekonomi—masih akan tetap dibiarkan? Apakah kecepatan negara mesti dikorbankan demi mengakomodasi orang-orang yang lambat? Lalu, terobosan apa saja yang mesti dilakukan untuk mengatasi persoalan lambatnya pelayanan publik?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Alamsyah Saragih (Anggota Ombudsman RI) dan Andy Fefta Wijaya, Ph.D (dari Lembaga Admnistrasi Negara (LAN)/ Pengamat Kebijakan Publik Universitas Brawijaya Malang). (Andi Odang/ Heri CS)

Berikut diskusinya: