Paradoks Media Sosial

Ilustrasi

Semarang, Idola 92.6 FM – “Kehadiran media sosial ibarat keranjang sampah. Keberadaannya dibutuhkan untuk menampung benda-benda apkir yang bikin sumpek. Di sana, semua benda bekas itu menumpuk tanpa sekat dan saling berinteraksi, melipatgandakan limbah kehidupan.” Begitu tulis Redi Panuju – Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas dokter Soetomo, Surabaya, dalam opininya di harian Kompas (11/02/2020).

Menurut Redi, di dunia virtual, pengguna bisa menjadi siapa saja yang diinginkan. Karena itu, sebetulnya berselancar di media sosial—tidak membutuhkan klarifikasi—kecuali sudah mengarah pada kekerasan verbal, kebohongan publik (hoaks), pornografi, dan ujaran kebencian. Dan, hanya sebatas itu saja, negara bisa mengintervensi medsos untuk melindungi rakyatnya.

Nyatanya, akurasi fakta adalah problem utama media sosial—sehingga sering kali menjadi “kanal rasa frustasi” sebagian orang. Bahkan tak jarang media sosial menjadi sarana massal penyebaran kabar bohong. Mungkin bukan hanya sekali dua kali, Anda menerima informasi—yang entah dari mana sumbernya—tetapi sangat meragukan otentisitasnya.

Redi Panuju
Redi Panuju, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas dokter Soetomo, Surabaya.

Itulah kenapa kita lebih percaya pada media mainstream atau media arus utama. Media mainstream sebagai media popular, mempunyai badan hukum yang jelas, dan terverifikasi oleh Dewan Pers. Dia bisa berbentuk koran, radio, televisi, atau media online. Pada umumnya, media seperti ini sudah berdiri lama dan mendapat tempat di hati khalayak.

Sebagai perusahaan yang berorientasi bisnis, media mainstream lazimnya akan menjaga kredibilitas. Dengan modal kepercayaan, media mainstream baru bisa diterima khalayak. Sekali salah, bisa hilang pembaca, pemirsa atau pendengarnya. Jadi atas nama bisnis, media mainstream akan seperti “mengubur diri sendiri” jika sampai menyajikan berita palsu.

Selain itu, para wartawan di media mainstream pada umumnya adalah para professional. Mereka adalah para sarjana yang telah mendapat pembekalan khusus tentang etika jurnalistik. Mereka juga umumnya tergabung dalam serikat profesi yang diikat oleh kode etik. Jadi para wartawan itu bekerja untuk mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi, dengan kerangka etis. Mereka hanya boleh mengkabarkan fakta, bukan fantasi apalagi sensasi.

Paradoks Medsos

Apakah para wartawan itu pasti benar? Tentu saja tidak. Mereka manusia, tentu sangat bisa salah. Akan tetapi, khalayak mudah mengontrol. Karena lembaga dan orang-orangnya jelas. Maka, setiap praktik disiinformasi akan segera diketahui. Nah, bayangkan kalau ini terjadi di media sosial, yang kadang bahkan penulisnya pun tidak kita ketahui.

Pada akhirnya, kepercayaan pada media mainstream ini lebih pada sistem yang mengontrolnya. Orang bisa salah, tetapi ada sistem yang bisa mengoreksinya. Ada Dewan Pers yang memantau kerja media-media ini. Juga ada asosiasi wartawan yang melakukan kontrol pada para anggotanya.

Inilah persoalan utama di media sosial. Media ini memang bisa saja menjadi alternatif. Ketika media besar hanya bisa diakses oleh mereka yang punya kuasa, media sosial menjadi milik siapa saja. Ini media rakyat. Gagasan pewarta warga (citizen journalism) menjadi makin nyata dengan hadirnya media sosial.

Ilustrasi Medsos Sampah

Tapi persoalan dalam citizen journalism ini, adalah belum hadirnya sistem kontrol. Selain yang tergabung dalam komunitas yang jelas, sebagian besar netizen yang menjadi pewarta sejatinya adalah kerumunan besar yang sulit diidentifikasi siapa sesungguhnya mereka? Sehingga, “penumpang gelap” kebebasan informasi, mungkin saja berada dalam kerumunan ini.

Lantas, menelaah Paradoks Media Sosial yang bagaikan “keranjang sampah” dan Media Arus Utama yang dijaga begitu ketat oleh sistem yang mengontrolnya; Bagaimana mestinya Pemerintah mendudukkan keduanya? Ketika media sosial sering menjadi “sarana massal” penyebaran kabar bohong, maka edukasi seperti apa yang mesti kita sampaikan pada publik?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: DR. Redi Panuju, M.Si (Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas dokter Soetomo, Surabaya) dan Ninok Leksono (Redaktur Senior di Harian Kompas). (Andi Odang/ Heri CS)

Berikut diskusinya: