Refleksi Hari Raya Idul Fitri dalam Bingkai Kerukunan Bangsa, Bagaimana Memaknai Perayaan Hari Kemenangan bagi Persatuan Bangsa?

Semarang, Idola 92.6 FM – Selama sebulan penuh pada Bulan Ramadan umat muslim di dunia menjalankan ibadah puasa. Melalui penempaan rohani selama Ramadan, harapan idealnya—pelaku bertransformasi menjadi insan kamil yang sungguh-sungguh bertakwa kepada Allah dengan kualitas kesalehan personal yang semakin mendalam dan kualitas kesalehan sosial yang semakin meluas.

Ibarat metamorfosa kupu-kupu, manusia menempa diri dalam laku tirakat sehingga mampu meluruhkan hal ikhwal sifat-sifat keduniaan dalam diri—untuk kemudian berubah menjadi sosok baru yang telah selesai dengan dirinya sendiri.

Selama Ramadhan, kita berusaha membersihkan batin kita dari segala iri dan dengki, dari segala dosa dan sikap saling membenci dan bahkan sikap permusuhan. Selain itu, melalui pelbagai acara buka puasa bersama dan tarawih berjemaah, kita telah memperbanyak dan memperluas silaturahim.

Dalam konteks ini, semangat silaturahim inilah yang akan kita rawat setelah Ramadan melalui tradisi berhalalbihalal dalam bingkai membangun kerukunan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan, dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini cukup relevan mengingat bangsa kita baru saja melewati hajatan Pemilu 2019 yang telah menyita begitu besar energi bangsa—bahkan terjadi polarisasi yang mengoyak sendi-sendi persatuan dan kesatuan kita.

Lantas, merefleksi hari Raya Idul Fitri dalam bingkai kerukunan bangsa, bagaimana memaknai perayaan Hari Kemenangan bagi Persatuan dan Kesatuan Bangsa? Hal ikhwal apa yang mestinya dilakukan para elite untuk merekatkan kembali persaudaraan yang sempat memudar selama Pemilu 2019?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Masdar Hilmy, Peneliti Politik LIPI Prof Siti Zuhro dan Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta Dr. Saifur Rohman. (Heri CS)

Berikut diskusinya: