Bagaimana Manusia Keluar dari Cangkang Sempitnya, menuju ke Kesadaran Universal?

Ilustrasi Kesadaran Universal

Semarang, Idola 92.6 FM – Manusia senang mendengar cerita dan juga senang bercerita. Puluhan ribu tahun silam, cerita tentang ‘terciptanya bumi dan matahari’ disampaikan para nenek dan kakek kepada anak dan cucu mereka di tepi sungai saat hari mulai gelap. Cerita itu mungkin diawali dengan ungkapan yang lebih kurang sama artinya dengan: “pada suatu hari..”

Beribu-ribu tahun kemudian, kisah hebat yang lain tentang penciptaan matahari dan bumi juga disampaikan, diulang-ulang, dan diajarkan di pusat-pusat ‘awal mula peradaban besar’ seperti di lembah Sungai Nil, sebuah area di Mesopotamia, serta dataran sungai besar di China. Dengan cerita itu, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan orang tergerak untuk bekerja sama, mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam kisah nan heroic.

Tomy Trinugroho
Tomy Trinugroho (photo: twitter).

Fenomena itu disebut sebagai kekuatan narasi yang ditulis oleh jurnalis senior harian Kompas A Tomy Trinugroho di harian Kompas (17/02/2020). Menurut Tomy yang juga menyitir Yuval Noah Harari melalui buku “Sapiens,” dibandingkan dengan makhluk hidup lain—termasuk yang berkerabat dekat—seperti simpanse, manusia mempunyai keungulan membangun narasi lewat bahasa, yang bisa dipahami oleh jutaan manusia lainnya. Atas dasar narasi itulah, peradaban dibangun, ribuan orang bersedia tewas di medan laga, bersedia bekerja seumur hidup demi apa yang diagung-agungkan dalam kisah tersebut.

Sepanjang perjalanan umat manusia, ada banyak contoh bahwa untuk membangun narasi yang mampu memberi api pada nasionalisme, dan gerakan-gerakan lainnya, orang tak segan “menyusun” sejarah agar cocok dengan konstruksi narasi akbar yang hendak diciptakan. Misalnya, ras tertentu adalah keturunan agung, memiliki tugas mulia, sementara ras lain merupakan hama, tak layak hidup di bumi.

Setiap negara setiap wilayah, setiap religi, memiliki cerita kisah mula yang berbeda-beda. Beragam kisah asal-usul yang itu pada akhirnya justru membuat kehidupan manusia menjadi kian terkotak-kotak, dan “terdinding” oleh berbagai frame dan identitas primordial yang sempit.

Lantas, kapan idealnya manusia mesti menyadari dan segera “meruwat” diri—agar cakrawalanya melampaui dinding-dinding sempit itu? Serta, bagaimana cara manusia keluar dari cangkang yang sempit, agar mempunyai kesadaran universal? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber A Tomy Trinugroho. (Andi Odang/Heri CS)

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaDinkes Jateng Terus Lakukan Pemantauan Terhadap WNI Usai Jalani Karantina di Natuna
Artikel selanjutnyaBagaimana Mestinya Pemerintah Menyiapkan “Omnibus Law” RUU Cipta Kerja secara Matang agar Tidak Menjadi Produk Gagal?