Bagaimana Mestinya Pemerintah Menyiapkan “Omnibus Law” RUU Cipta Kerja secara Matang agar Tidak Menjadi Produk Gagal?

Penolakan Omnibus Law

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah bersama DPR diminta agar tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Karena, banyak materi yang butuh pembahasan mendalam mengingat banyak ketentuan di dalam RUU itu yang perlu dicermati dampaknya atau berpotensi bertentangan dengan produk hukum lain.

Dari kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang dirilis Minggu lalu, misalnya, Pasal 166 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan peraturan presiden (perpres) bisa membatalkan peraturan daerah (perda), bertentangan dengan putusan MK Nomor 56/ PUU-XIV. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu menyatakan, kewenangan pembatalan perda berada di Mahkamah Agung (MA).

Kemudian, Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang mengatur peraturan pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah undang-undang, bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Ayat 1 2 UU nomor 12 tahun 2011 menegaskan PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan UU. Dengan demikian, PP tidak bisa membatalkan atau mengubah UU.

Selain itu, juga sangat banyak peraturan pelaksanaan yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja yaitu mencapai 493 PP, 19 peraturan presiden, dan 4 perda. Ini dinilai kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan.

Lantas, mengingat draft “Omnibus Law” RUU Cipta Kerja kini sudah diserahkan oleh pemerintah ke DPR, maka apa upaya yang masyarakat bisa lakukan, agar pembahasan RUU tersebut tidak tergesa-gesa seolah Kejar Setoran? Bagaimana pula mendorong civil society agar bersama-sama mengawal RUU Sapu Jagat ini agar bermuara pada keadilan semua pihak?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu radio Idola Semarang berdiskusi dengan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSako) Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang Charles Simabura. (Andi Odang/ Heri CS)

Berikut diskusinya: