Bagaimana Menghasilkan Meta-Informasi dari Proses Membaca

Membaca

Semarang, Idola 92.6 FM – Meski “Iqra” adalah wahyu yang pertama kali turun, tetapi bukan berarti Rasul diutus oleh Tuhan hanya untuk memberantas buta huruf. Seperti kita tahu, peristiwa turunnya wahyu melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, berbunyi Iqra’. Sebuah perintah dari Tuhan agar Rasul membaca. Perintah ini sampai diulang dua kali. Padahal pada saat itu Nabi sama sekali tidak bisa membaca dan menulis.

Lalu, apa maksud Tuhan ketika memerintah Nabi untuk membaca sedangkan Tuhan Maha Tahu, bahwa seumur hidupnya nabi tidak pernah membaca suatu kitab apa pun. Bahkan, tidak pandai membaca suatu tulisan sampai akhir hayatnya?

Tentu saja, yang dimaksud Iqra’ di sini tak semata membaca teks, melainkan membaca konteks. Bahkan lebih jauh lagi membaca fenomena; baik fenomena alam maupun manusia. Membaca di sini dimaknai secara luas. Para mufassir menyampaikan bahwa yang dibaca tidak mesti berbentuk tulisan. Situasi kondisi di depan bahkan potensi ‘akan terjadinya bencana’ semua itu juga perlu dibaca sehingga dalam Alquran ada ayat-ayat yang disebut “qouliyah” dan “kauniyah”.

Ayat qauliyah terhimpun dalam satu mushaf Alquran, sedangkan ayat-ayat kauniyah adalah semesta yang menghampar, lengkap dengan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, sehingga orang Minang menyebutnya, “Alam takambang jadi Guru.”

Iqra

Nah merefleksikan peristiwa turunnya wahyu yang pertama serta pepatah orang Minang tadi, sudahkah kita menerjemahkan makna “iqra” secara benar dan membiasakan diri itu “membaca” melampaui aksara?

Budayawan Bre Redana, dalam sebuah opininya di sebuah harian nasional menyatakan, “Nalar sehat dan wisdom, bisa didapat dari mana saja; pendidikan di rumah, sekolah, pesantren, barak militer, kantor, pergaulan, tontonan, dan tentu saja bacaan. Dari semua itulah, akal budi manusia terbentuk. Tahu mana benar mana salah, mana pantas mana tidak pantas, mana palsu mana akal-akalan, mana jujur mana bohong, dan seterusnya.

Memori manusia tidak terbentuk semata-mata oleh informasi apalagi sesempit apa yang dirumuskan sebagai fakta, melainkan melalui “meta-informasi”. Orang membaca bukan hanya buku, tapi juga tanda-tanda alam.

Lantas, kalau membaca tak hanya melulu membaca teks tetapi konteks yang bermuara pada pemahaman yang holistic, maka bagaimana membudayakannya? Kalau “Meta informasi” akan menghasilkan “Meta perspektif” bahkan “Meta kognitif” yang berarti beyond—melampaui, maka dalam konteks kehidupan kita sehari-hari, bagaimana mendorong berseminya ekosistem tersebut?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Bre Redana (Budayawan/wartawan senior); Prof. Yasraf Amir Piliang (Pakar cultural studies Institute Teknologi Bandung); dan Sumbo Tinarbuko (pemerhati budaya visual/ penulis buku dan dosen komunikasi visual ISI Yogyakarta). (andi odang/her)

Simak podcast diskusinya: