Bagaimana Mengikis Demokrasi Elitis?

Ilustrasi Demokrasi Elitis

Semarang, Idola 92.6 FM – Selepas Pemilu 2019, tercatat ada empat partai politik yang mengadakan forum pengambilan keputusan tertinggi atau Kongres, yaitu PDI Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, dan Partai Golkar. Namun, tidak ada satu pun dari keempat partai itu yang pemimpin tertinggi partainya berganti. Ketua Umum sebelumnya terpilih kembali. Melalui aklamasi, tokoh-tokoh politik lama yang sudah malang melintang di panggung politik nasional kembali memegang pucuk kekuasaan di partainya masing-masing.

Tren aklamasi di partai-partai itu sekilas dimaklumi bahkan dipuji. Aklamasi atau penetapan melalui kesepakatan bulat—tanpa ada pemilihan dianggap mewakili tradisi demokras Indonesia, yakni musyawarah untuk mufakat. Namun di sisi lain, aklamasi secara tidak langsung juga mendorong proses demokrasi di partai semakin elitis. Pos-pos penting di partai cenderung diisi segelintir elite yang sama. Pengambilan keputusan di partai juga didominasi para elite di pusat dilakukan tertutup, tanpa melibatkan kader dan pengurus lain secara aktif.

Kita ketahui, parpol merupakan sarana partisipasi rakyat. Namun, Partisipasi secara formal juga bisa dibeli kalau pemilihnya relatif masih bodoh. Bisa dikatakan—demokrasi elitis akan menggerus kedaulatan rakyat. Penguasaan sumber daya dan posisi strategis yang dimiliki segelintir elite partai tidak hanya mengancam kehidupan demokrasi di internal partai tetapi juga demokrasi secara umum. Sebab, ini akan melahirkan praktik oligarki.

Lantas, bagaimana mengikis demokrasi elitis? Terobosan dan upaya nyata apa yang bisa dilakukan agar tak melahirkan politik etis? Di tengah menguatnya tren aklamasi dan oligarki partai—bagaimana mendorong reformasi di tubuh partai politik? Apa tantangan terbesar dalam upaya ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Prof Firman Noor dan Dosen ilmu Politik dan Kebijakan Publik FISIP Universitas Brawijaya Malang Wawan Sobari, PhD. (Heri CS)

Berikut diskusinya: