Menelaah Perselingkuhan Antara Penguasa dengan Pemilik Modal dan Melemahnya Gerakan Masyarakat Sipil

Politics Chess

Semarang, Idola 92.6 FM – Untuk menjaga kualitas demokrasi, gerakan masyarakat sipil sangat dibutuhkan guna membangun keseimbangan bagi jalannya pemerintahan. Publik masih menaruh harapan kepada gerakan mahasiswa dan kalangan LSM.

Hanya saja, hasil penelitian Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Power Walfare and Democracy (PWD) beberapa waktu lalu menggambarkan, wajah gerakan masyarakat sipil di Indonesia saat ini cenderung “terpecah dan tidak solid.” Meski penyatuan elemen-elemen gerakan tetap ada, tetapi sangat rapuh dan tidak berkelanjutan. Aliansi gerakan bukannya tidak terjadi. Itu terjadi. Tetapi gerakkan itu hanya merespons secara reaktif isu-isu yang ada. “Dan setelah selesai, ya bubar,” tutur Willy Purna Samadhi, salah satu peneliti.

Padahal, dua minggu lalu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan, bahwa berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia—para pemodal cukup merogoh ongkos Rp1 triliun untuk dapat menguasai partai politik di Indonesia.

Lebih jauh Bamset menerangkan, perselingkuhan antara penguasa dengan pemilik modal bisa saja mewakili kepentingan asing. Bahkan yang lebih parah, para pemilik modal melalui orang-orangnya bisa mempengaruhi kebijakan partai politik.

“Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen. Jika dia menguasai parlemen, maka dia akan menguasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita. Dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya.”

Sehingga menjadi relevan untuk menyitir pernyataan pengamat politik Dewi Fortuna Anwar, bahwa keberadaan masyarakat sipil memiliki peranan penting dalam proses demokrasi suatu negara. Masyarakat sipil sekurangnya memiliki 3 fungsi utama, yakni advocacy, empowerment and social control, yang menunjang terciptanya demokrasi yang matang. Masyarakat sipil yang baik harus sadar akan hak dan kewajibannya secara konstitusional. Masyarakat sipil di Indonesia mesti menjadikan dirinya sebagai pembantu masyarakat, untuk mencegah agar kekuasaan tidak semena-mena.

Sayangnya, jajak pendapat Kompas yang dirilis Senin (02/03/2020) lalu menyebutkan, gerakan masyarakat sipil mulai meredup. Hal itu setidaknya dipengaruhi oleh 3 hal. Pertama, derasnya informasi yang mengalir melalui media sosial menyebabkan masyarakat mudah terpengaruh oleh suatu isu. Yang kemudian, turut menurunkan daya kritis masyarakat dalam mengawal kinerja pemerintah. Kedua, adanya keterbelahan sosial akibat polarisasi dan preferensi politik yang berbeda, mempengaruhi publik dalam menyikapi atau mengritisi kebijakan pemerintah. Ketiga, figur ketokohan. Masuknya aktivis dalam lingkaran pemerintahan turut melemahkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.

Lantas, bagaimana cara kita menjaga kualitas demokrasi, pada saat gerakan masyarakat sipil meredup? Lalu, apakah pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo tentang kemungkinan perselingkuhan antara penguasa dengan pemilik modal, mengindikasikan hidupnya Plutokrasi di negara kita? Serta, bagaimana cara memperkuat gerakan masyarakat sipil, agar berpartisipasi penuh dalam ikut mengawasi pemerintah?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ketua Departemen Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta Dr Arie Sudjito dan Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar. (Andi Odang/ Heri CS)

Berikut diskusinya: