Cukupkah SKB Tiga Menteri Mengakhiri Polemik Seragam Atribut Keagamaan di Dunia Pendidikan?

SKB 3 Menteri

Semarang, Idola 92.6 FM – Dahulu, kita memahami adanya kebijakan seragam di dunia pendidikan karena filosofi di baliknya menarik. Di antaranya, seragam dimaksudkan untuk mengaburkan batas dan perbedaan kelas sosial di antara si miskin dan si kaya. Selain itu, guna menjaga azas kesopanan dan kepatutan sesuai dengan nilai-nilai di lingkungan masyarakat setempat.

Kemudian, entah apa penyebabnya, belakangan, seragam malah menjadi simbol “gagah-gagahan” layaknya “jersey club” yang dipakai oleh para suporter sepak bola dan menjadi penanda eksistensi identitas sekolah. Dan, perkembangan yang terakhir, seragam sekolah bahkan dipaksakan menjadi bagian dari atribut keagamaan. Ini yang kemudian menjadi rancu—ketika kita mengacu pada filosofi seragam di awal tadi.

Padahal, dahulu, kalau kita ambil contoh, Sekolah Kolesse De Britto juga menerapkan kebijakan tanpa seragam dan baik-baik saja. Bahkan, sebaliknya, justru fenomenal di antara sekolah-sekolah yang menerapkan seragam karena prestasi akademik Kolesse De Britto juga menonjol.

Contoh lain, di pendidikan ala Pondok Pesantren. Di sana juga tak menerapkan seragam khusus namun juga tak memunculkan potret perbedaan antara satu santri dengan santri yang lain.

Terkini, terkait polemik seragam, pemerintah melalui Mendikbud, Mendagri, dan Menag, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Pokok isinya: pemerintah daerah dan sekolah negeri tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut agama tertentu di sekolah. Jika terjadi pelanggaran atas SKB tersebut, akan ada sanksi pada Pemda ataupun pihak sekolah.

Nah, merefleksikan kenyataan ini, kita kemudian bertanya-tanya, jadi fungsi seragam untuk apa? Kenapa harus diseragamkan—kalau tujuan untuk mengaburkan perbedaan kelas sosial antara si kaya dan si miskin sudah tidak menjadi tujuan? Kenapa kita seolah justru membangun menara gading melalui seragam?

Lalu, cukupkah SKB Tiga Menteri mengakhiri polemik seragam atribut keagamaan tanpa ada edukasi bahwa esensi seragam kini sudah keluar jauh? Di sisi lain, kenapa sebagian masyarakat kita lebih suka-menggemari hal yang tampak, kulit, atau bungkus, ketimbang akhlak yang sifatnya inner—padahal akhlak adalah tujuan utama?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dr. Aswandi (Pengamat Pendidikan Universitas Tanjungpura Pontianak); Prof. Masdar Hilmy (Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya); dan Henny Supolo Sitepu (Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: