Masih Tingginya Impor Kedelai hingga Gula, Apakah Mengindikasikan Rendahnya Kemampuan Bangsa, atau Tak Adanya Kemauan?

Kedelai

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam beberapa pekan terakhir, lonjakan harga tahu dan tempe di tingkat konsumen menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Harga tempe yang lazimnya hanya sekitar Rp 11-12 ribu per kilogram dengan harga baru bisa mencapai Rp 15 ribu. Hal itu dipicu, oleh mahalnya kedelai sebagai bahan baku panganan tersebut.

Fenomena semacam itu menjadi seperti siklus rutin di Indonesia. Pemicunya–selama ini selalu impor komoditas kedelai. Tapi benarkah?

Presiden Joko Widodo baru-baru ini sempat melontarkan kekesalannya pada jajaran kabinet pemerintahannya. Ia menyoroti jutaan komoditas pangan strategis yang sampai saat ini kerap diimpor seperti gula dan kedelai. Ia meminta pembangunan pertanian nasional perlu dibenahi secara serius. Jokowi menekankan kepada jajarannya untuk tidak lagi menerapkan kebijakan yang konvensional ataupun bersifat rutinitas semata.

Kejengkelan Presiden juga dipicu oleh tidak seimbangnya antara produktivitas pangan dengan ‘pengorbanan’ yang diberikan pemerintah. Selama masa pemerintahannya pada periode pertama (2015-2019), rata-rata anggaran subsidi pupuk mencapai Rp 31,74 triliun. Setiap tahun rerata kenaikannya mencapai 12,48%.

Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian 2021 (Video: Youtube NGARANNA Production)

Dengan subsidi sebesar itu, apakah produksi pangan sudah naik seperti yang diinginkan presiden dan seluruh rakyat Indonesia? Ternyata tidak.

Selama 2015-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, rata-rata produksi padi per-tahun adalah 69,94 juta ton. Laju pertumbuhan per tahunnya adalah -4,18%. Maka, pantas jika Jokowi gusar, sebab subsidi pupuk terus bertambah tetapi hasil produksinya malah turun.

Jadi, apakah impor yang semakin tinggi itu, karena disebabkan oleh Kurangnya Kemampuan atau rendahnya Kemauan kita? Apakah jangan-jangan, karena adanya perbedaan, antara membangun dengan mengonsumsi–di mana untuk membangun, maka diperlukan upaya besar, kesabaran dan ketabahan menunggu hasilnya, dan komitmen bagi masa depan yang lebih baik. Sementara untuk mengonsumsi, sudah tentu sangat jauh lebih mudah. Apakah ini penyebab kita masih terus mengimpor?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Loekas Soesanto (Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto); Andi Akmal Pasluddin (Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS); dan Prof Bustanul Arifin (Pengamat Ekonomi Pertanian). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya: