Memperbaiki Wajah Bangsa di Dunia Virtual

Aplikasi Media Sosial
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Pepatah lama mengatakan, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Sepintas, peribahasa ini terlihat sangat sederhana, tetapi sesungguhnya memiliki makna yang sangat luas. Bahasa, dalam bentuk tuturan atau ucapan, sering menjadi petunjuk utama dalam pengidentifikasian seseorang dan asal-muasalnyaโ€”termasuk ketika berperilaku di dunia virtual, internet.

Dalam konteks perilaku bermedia sosial ini, kita sesungguhnya malu dengan negara-negara lain. Dalam laporan tahunan terbaru yang dikeluarkan Microsoft bertajuk Digital Civility Index (DCI) tahun 2020, tingkat kesopanan netizen atau pengguna internet asal Indonesia menempati rangking bawah. Dengan kata lain, netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara.

Secara global, Belanda menjadi negara dengan netizen paling sopan alias di ranking pertama. Sementara, di Asia Tenggara dan juga di Asia secara umum, Singapura berada di posisi teratas dan keempat secara global.

Singapura tercatat naik empat peringkat, menggantikan Malaysia yang sebelumnya ada di peringkat tersebut. Adapun Indonesia menempati ranking ke-29 dari 32 negara yang diteliti Microsoft sehingga posisinya terbawah di Asia Tenggara, menurun 8 poin dengan skor 76.

Studi tahunan kesopanan digital ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong interaksi positif secara online. Dari hasil survei, risiko terbesar netizen Indonesia adalah hoax dan penipuan yang naik 13%, ujaran kebencian naik 5%, namun diskriminasi turun 2%. Empat dari 10 responden menilai kesopanan lebih baik selama pandemi. Namun hampir 5 dari 10 orang mengaku terlibat dalam bullying dan 19% responden mengaku sebagai target.

Civility, safety & interaction online: Indonesia

Melihat hasil survei ini, kita jadi teringat sebuah adagium perihat 3 strata level pemikir. โ€œGreat minds discuss ideas. Average minds discuss events. Small minds discuss people.โ€Pemikir hebat mendiskusikan ide. Pikiran biasa membahas peristiwa. Pikiran kecil atau kerdil, membicarakan orang.

Bukan soal buruknya skor yang kita khawatirkan, melainkan banyaknya masyarakat yang terperangkap dalam hujat menghujat yang dikapitalisasi menjadi sebuah industri yang bernama buzzer. Dan, yang jauh lebih mengawatirkan lagi, terbelahnya persatuan dan kerukunan antara warga bangsa yang kian retak; Di mana skor yang buruk itu hanyalah indikatornya saja.

Lantas, kalau rendahnya indeks kesopanan mengindikasikan terbelahnya kerukunan dan persatuan antar warga bangsa, maka, upaya apa yang mestinya dilakukan untuk merajut kembali kohesi social? Kemudian, kalau kesopanan dan kehalusan budi adalah cerminan karakter bangsa, maka, upaya apa yang mestinya dilakukan untuk mengedukasi? Terobosan apa yang mesti dilakukan dalam meningkatkan โ€œkeadabanโ€ dalam ber-internet sejak dini?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ratna Megawangi, Ph.D (Dosen IPB dan Pendiri Indonesia Heritage Foundation); Enda Nasution (Pengamat Media Sosial); dan Dr Saifur Rohman (Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: