Menakar Implikasi Potongan Hukuman 6 Tahun bagi mantan Jaksa Pinangki

Pinangki
Mantan Jaksa Pinangki.

Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah negeri ini tengah berjibaku menanggulangi Pandemi—bahkan kini tren peningkatan kasus Covid-19 melonjak di mana-mana, publik dikejutkan dengan kembali dipotongnya masa hukuman pelaku korupsi. Ini seperti kabar buruk di tengah kabar duka.

Setelah pengajuan bandingnya dikabulkan, Senin 14 Juni lalu, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi vonis eks jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara setelah sebelumnya dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung.

Dalam lampiran amar putusan, setidaknya ada beberapa pertimbangan hakim mengurangi vonis Pinangki. Di antaranya, Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.

Kemudian, terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan. Lalu, terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.

Putusan ini menambah daftar panjang terpidana korupsi yang masa hukumannya diberi discount setelah mengajukan banding. Sebelum Pinangki, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mengabulkan banding yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy dari sebelumnya 2 tahun menjadi 1 tahun masa hukuman.

Lantas, menakar potongan masa hukuman 6 tahun bagi mantan Jaksa Pinangki—apa implikasinya? Di sisi lain—kita pun bertanya-tanya/ pengurangan hukuman atas dasar jenis kelamin, bukankah justru menegasi kesetaraan perempuan di depan hukum? Dan, terdakwa yang notabene juga penegak hukum bukannya mestinya malah mendapatkan “bonus” hukuman lebih lama?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Hibnu Nugroho (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto); Charles Simabura (Pegiat Anti Korupsi/ Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang); dan Kurnia Ramadhana (Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW)). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaMengenal Komunitas CARITA Bersama Nuraeni Shopiyah
Artikel selanjutnyaBawaslu RI Minta Kehadiran Sekolah Kader Pengawas Bisa Tingkatkan Iklim Demokrasi di Indonesia