Menakar Kebijakan Pemerintah yang Menghapus Angka Kematian Warga dari Indikator Penilaian Covid-19

Ilustrasi Pemakaman Covid
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 M – “Kalau rencana Anda tidak berjalan, ubahlah strateginya, jangan pernah mengubah tujuannya”. Demikian sebuah ungkapan terkenal dalam ilmu manajemen yang masih relevan hingga sekarang.

Maka, hal itu pula yang membuat kalangan juru wabah hingga relawan Covid-19 gelisah dan bersuara manakala melihat Pemerintah membuat kebijakan yang sekenanya dan cenderung tak taat azas dalam penanggulangan Pandemi.

Kebijakan itu yakni keputusan pemerintah menghapus data kematian pasien corona dari indikator penanganan Covid-19. Kebijakan itu pun langsung menuai kritik. Menurut juru wabah Universitas Indonesia Pandu Riono, jika pemerintah punya masalah input data kematian hingga menimbulkan akumulasi data yang bisa mendistorsi penilaian, mestinya yang dilakukan adalah perbaikan data, bukan indikatornya yang dihapus.

Kritik ini bermula ketika Koordinator PPKM Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan, mengakui bahwa pihaknya telah menghapus angka kematian pasien corona dari indikator penanganan Covid-19. Keputusan itu diambil karena data kematian pasien corona memiliki masalah input hingga bisa menimbulkan distorsi penilaian. Menurutnya alur data pencatatan kematian di Indonesia masih belum real time.

Pengakuan Luhut ini muncul tatkala pemerintah melonggarkan level PPKM di 26 kabupaten/kota dari Level 4 menjadi Level 3 pada 10 hingga 16 Agustus 2021. Luhut mengatakan, pelonggaran level PPKM di 26 kabupaten/kota tersebut “melanjutkan perbaikan kondisi di lapangan yang cukup signifikan.”

Makam Covid
ilustrasi/istimewa

Sebelumnya, pemerintah menetapkan indikator laju penularan melalui tiga variabel yakni kasus konfirmasi positif Covid-19, kondisi tingkat keterisian (Bed Occupancy Rate/BOR) rumah sakit rujukan Covid-19, dan tingkat kematian Covid-19.

Lantas, kalau karena masalah dalam input data yang salah sehingga menyebabkan akumulasi kasus kematian—lalu kenapa Pemerintah menghapus angka kematian yang menjadi indikator penanganan Covid-19? Kenapa bukan input dan metodenya yang diperbaiki? Apakah negara hanya melihat nyawa sekadar angka? Benarkah dugaan para pengritik, bahwa keputusan ini ceroboh dan bisa mencelakai banyak masyarakat?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, kami nanti akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Dr Windhu Purnomo ( Ahli Epidemiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya); Dr Hermawan Saputra (Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI)); dan Ahmad Arif (Co-Initiator Lapor Covid-19/ wartawan Kompas). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: