Mengurai Sengkarut Pemenang Pilkada Berkewarganegaraan Ganda di Kabupaten Sabu Raijua NTT

Orient P Riwu Kore
Orient P Riwu Kore. (Photo: detik)
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Polemik kewarganegaraan ganda bupati terpilih Sabu Raijua NTT, Orient P Riwu Kore memantik perhatian publik. Kasus semacam ini bukan kali ini terjadi. Sebelumnya, ada kasus Djoko Tjandra tahun 2020, hingga Arcandra Tahar, mantan Menteri dan Wamen ESDM pada tahun 2016.

Ini sekali lagi menunjukkan sengkarut data kependudukan dengan data instansi terkait. Di tengah perkembangan teknologi informasi, sinergi pendataan mestinya bisa lebih kuat. Agar kita tak selalu terjebak pada post factum problem kewarganegaraan ganda.

Orient terpilih sebagai Bupati Sabu Raijua pada Pilkada 9 Desember lalu dan menurut rencana akan dilantik dalam waktu dekat. Persoalan kewarganegaraan ganda Orient mencuat setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sabu Raijua menerima surat balasan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tertanggal 1 Februari laluโ€”yang menyatakan Orient adalah benar warga negara AS.

Dalam polemik ini, kita ketahui ada dua pihak penyelenggara pilkada yang berselisih pendapat. Pihak KPU RI tetap kekeuh mensyahkan terpilihnya Orient P Riwu sebagai bupati Sabu Raijua NTT. Anggota KPU Evi Novida Ginting Manik menyebut, semua tahapan telah selesai dilaksanakan KPU Sabu Raijua. Hasil itu telah diserahkan kepada Mendagri untuk proses pelantikan melalui pemerintah provinsi.

Tetapi, hal itu ditentang oleh pihak Bawaslu, Bawaslu masih mengkaji implikasi hukum status kewarganegaraanya. Sedangkan, di sisi lain, Kemendagri masih menunggu kepastian status kewarganegaraan Orient dari Kemenkum dan HAM.

Maka, berkaca pada kasus bupati terpilih Sabua Raijua NTTโ€”bagaimana upaya yang mesti dilakukan untuk membenahi data? Di mana sesungguhnya celah yang membuat kita seolah tak selesai dengan persoalan data? Selain itu, kenapa KPU tetap kekeuh mensyahkan, sementara Bawaslu menentang? Apakah kerangka acuan keduanya berbeda?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI); Bu Ratna Dewi Pettalolo (anggota Bawaslu RI), dan Feri Amsari, MH (Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSakO)/ Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: