Antara Masa Lalu vs Masa Depan

Past and Future Clock
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Di dalam bisnis, perusahaan yang ingin memiliki umur panjang harus mampu memanfaatkan keunggulan yang diperoleh di masa lalu, terutama dalam menghasilkan keuntungan; sambil membangun kapasitas berinovasi demi keberhasilan di masa depan.

Saran yang terdengar sederhana, meski pada praktiknya, tak sesederhana kedengarannya. Karena, apa yang terbaik untuk jangka pendek terkadang justru merupakan racun untuk jangka panjang. Sehingga, tidak mudah menyeimbangkan kemampuan survive pada hari ini dengan kemampuan berinovasi untuk hidup di masa depan.

Lalu, bagaimana dengan negara? Mungkinkah cakrawala yang terbentang nun jauh di depan sana, cukup kita hadapi dengan berbekal best practices yang kita peroleh dari masa lalu?

Tarik menarik antara masa lalu dan masa depan, juga terjadi antara “Penjaga tradisi” dengan perlunya “Pembaharuan”. Kaum konsevatif adalah penjaga tradisi. Mereka percaya bahwa tradisi adalah jalan yang perlu selalu diikuti. Semua masalah akan selesai jika tradisi dijaga. Namun, mereka lupa bahwa zaman tak surut ke belakang dan dunia tidak pernah sama.

Past and Future Ilustration
ilustrasi/istimewa

Maka, mereka membutuhkan kaum progresif yang siap memperbaharui segala sesuatu, demi kebaikan bersama, termasuk kebaikan kaum konservatif yang seolah buta pada dunia.

Begitu juga sebaliknya, kaum progresif juga memerlukan tradisi sebagai tempat berpijak. Tradisi adalah titik tolak untuk bergerak. Tradisi ada untuk memberi bekal bagi pembaruan yang diperlukan. Oleh karena itu, kaum progresif membutuhkan kaum konservatif, sebagai tempat menimba ilmu dan sejarah kehidupan.

Lalu, bagaimana dengan negara kita? Sudah seimbangkah kemampuan kita dalam menghadapi masa depan seperti kemampuan kita dalam mengelola masa lalu? Apakah sebagai bangsa, kita cukup kuat dalam “menjaga tradisi” sambil berkemampuan dalam menciptakan inovasi? Apa yang mesti kita lakukan agar bangsa kita mampu tegak dalam menatap Masa Depan tanpa kehilangan pijakan pada tradisi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Siti Zuhro (Peneliti Politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia); Yanuar Nugroho (Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance; Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia; Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura; Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI 2015-2019); dan Zainal Arifin Mochtar (Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaMengaku Sebagai Pegawai Dinsos, Seorang Buruh Ditangkap Reskrim Polres Magelang
Artikel selanjutnyaMengenal Komunitas Jejak Literasi Bali bersama Ni Kadek Sri Wahyuni