Apa Kabar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana?

Asset Tindak Pidana
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah maraknya kasus korupsi di Indonesia, negara selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa sistem hukum pemidanaan korupsi saat ini, belum mampu mengembalikan seluruh kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Melihat data, dari Hasil Pemantauan Persidangan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2020 yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), jumlah kerugian keuangan negara akibat korupsi pada 2020 mencapai Rp56,7 triliun. Namun, uang pengganti yang dikabulkan oleh hakim dalam putusannya hanya berkisar Rp8,9 triliun.

Ini artinya, betapa besarnya kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Bahkan, dampaknya menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat secara luas tetapi harta kekayaan hasil korupsi para koruptor, justru belum tersentuh oleh hukum.

Maka, kita menyambut baik ikhtiar pemerintah yang tengah menyusun dan menggencarkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Hal itu disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD. Menurut Mahfud MD, pemerintah akan menggencarkan penyelesaian RUU Perampasan Aset Tindak Pidana serta Revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Menurut Mahfud, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana merupakan rancangan aturan yang paling ditakuti koruptor. Karena koruptor begitu jadi tersangka, asetnya bisa dirampas dulu, meskipun vonisnya belum.

Mahfud mengatakan bahwa koruptor pada dasarnya menginginkan dirinya kaya, tetapi ia takut miskin. Untuk itu, ke depan para tersangka korupsi akan dimiskinkan lebih dulu walaupun belum ada vonis di pengadilan.

Lalu, akankah RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini mampu menjadi Élan Vital bagi pemberantasan korupsi? Serta, apakah dalam penyusunannya tidak perlu melibatkan input dan pemikiran para akademisi dan pegiat antikorupsi? 

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Dr Bambang Sugiri (Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya Malang), Johan Budi SP  (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan), dan Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: