Mendamba Keadilan Hukum

Keadilan Hukum
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Kemanusiaan yang adil dan beradab. Satu sila yang indah dari Pancasila ternyata tak punya kekuatan undang-undang apapun bila dilanggar oleh orang-orang kuasa atau perkasa. Demikian dikatakan WS Rendra.

Pada tahun 2008 silam, Kampus UGM Yogyakarta memberi gelar Doktor Kehormatan atau Honoris Causa untuk penyair W.S Rendra. Pada upacara penganugerahan itu, penyair yang mendapat julukan si Burung Merak itu membaca sebuah pidato yang menghentak dan mendalam, “Megatruh Kambuh”.

Rendra membacakan pidato itu dengan sangat memukau. Sebagaimana saat ia membacakan sajak-sajaknya. Rendra memulai renungan dari makna zaman Kalatida dan Kalabendu yang pernah diungkap oleh R. Ng. Ranggawarsita. Kisah ini diceritakan kembali oleh Fariz Alniezar, Peneliti dan dosen di Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta dalam akun twitter-nya.

Menurut WS Rendra, Kalatida adalah zaman tatkala akal sehat telah diremehkan. Baik-buruk, benar-salah, adil-tak adil, semuanya diabaikan. Pada zaman itu, erosi tata nilai terjadi dan memporak-porandakan semua tatanan kehidupan. Kalatida ini dalam bahasa yang lebih ringkas muradif dengan zaman edan.

Sementara zaman kalabendu digambarkan sebagai zaman saat ketidakadilan didewakan. Penindasan menjadi “langgam utama” kehidupan. Kalabendu adalah zaman rusaknya tata nilai kehidupan.

Salah satu isu sentral yang menjadi renungan Rendra adalah soal “daulat rakyat” atau kedaulatan rakyat. Isu inilah yang nyaris selalu disuarakan Rendra. Termasuk salah satunya, dalam sajak berjudul Maskumambang.

Cara Rendra mengurai bagaimana seharusnya hierarki kedaulatan itu ditata sangat jeli, keren, dan menghentak. Apa yang dikemukakan Rendra adalah soal proteksi pada rakyat. Dengan sistem daulat seperti itu, maka kepentingan dan kekuatan asing tidak mudah masuk mengintervensi. Sebab akan berhadapan dengan hukum adat lebih dulu.

Solidaritas yang bersifat organis. Ini kata kuncinya. Sialnya, tata cara pembangunan Hindia Belanda dikopi paste setelah Republik ini merdeka. Ketergantungan kepada modal asing terus terjadi.

Hal ini sangat menyedihkan. Ditambah lagi hobi dan kegirangan para elite yang gemar melakukan impor di segala sektor. Kita memang bangsa yang miskin produksi.

Setelah zaman Kalatida dan Kalabendu, dalam terori siklus akan muncul apa yang disebut zaman keemasan atau Kalasuba. Bagaimana zaman Kalasuba itu kita songsong?

Menurut Rendra, Kalasuba pasti akan datang. Oleh karena itu, kita mesti aktif mengembangkan usaha untuk menyongsong perubahan tata pembangunan, hukum dan segala aspek kehidupan. Karena, Kalasuba tidak akan hadir secara otomatis dengan datangnya Ratu Adil tetapi Kalasuba hadir bersama hukum yang adil, mandiri dan tawakal.

Lalu, merefleksi ungkapan WS Rendra tersebut, apakah berarti Era Kalasuba masih jauh datangnya kalau melihat situasi hari ini? Ada Hakim Agung di-OTT KPK, ada pula hakim MK yang dicopot karena tak sesuai keinginan DPR. Maka, bagaimana dan harus dimulai dari mana untuk membenahi ekosistem hukum kita?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Fariz Alniezar (Peneliti/ Dosen di Universitas Nahdlatul Ulama (Unusia) Jakarta dan Pengelola OmahAksoro), Dr Herlambang P. Wiratraman (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), dan Prof Topane Gayus Lumbuun (Mantan Hakim Agung). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: