Bagaimana Membendung Maraknya Lembaga Survei Abal-abal?

Survey antara Kepalsuan dan Kenyataan
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Jelang Pemilu 2024 publik telah terpapar hasil survei yang dirilis oleh beragam lembaga survei. Meski demikian, informasi survei tersebut rawan menjadi bias karena kemunculan lembaga survei yang dinilai abal-abal.

Hal itu diungkapkan oleh anggota Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Hamdi Muluk. Ia merasa kesal lantaran menjamurnya lembaga survei yang dipertanyakan kredibilitasnya. Persepsi mencatat, ada 42 lembaga survei yang disebut abal-abal dan menjadi masalah serius dalam lembaga survei lainnya.

Masalah ini diidentifikasi sebagai masalah klasik pernah hadir pada pemilihan umum sebelumnya dan kembali datang menjelang Pemilu 2024.

Menjelang pemilu, menurut Hamdi, sejumlah peserta pemilu akan memesan lembaga survei sebagai konsultan politiknya baik kandidat calon anggota legislatif, partai politik yang mengikuti kontestasi maupun kandidat calon presiden-calon wakil presiden. Hamdi menyebutkan,  praktik pemesanan lembaga survei sebagai konsultan politik ini sah-sah saja,  termasuk untuk merilis hasil survei kepada pihak pemesan.

Namun, hal itu akan menjadi masalah ketika lembaga survei yang muncul, dipesan untuk memanipulasi elektabilitas peserta pemilu tertentu.

Lalu, bagaimana membendung maraknya lembaga survei abal-abal? Serta bagaimana memaksa lembaga survei untuk mengungkap metodologi surveinya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, antara lain: Prof Hamdi Muluk (Anggota Dewan Etik Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi)) dan Arya Fernandes (Ketua Departeman Politik dan Perubahan Centre for Strategic and International Studies (CSIS)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: