Lingkaran Setan Biaya Tinggi Memicu Korupsi, Bagaimana Memutusnya?

Ben Brahim S Bahat dan istrinya
Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istrinya Ary Egahni Ben Bahat, dengan mengenakan rompi tahanan berjalan menuju ruang konferensi pers KPK, Jakarta, Selasa (28/3/2023). (Photo/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menetapkan Bupati Kapuas Ben Brahim S. Bahat dan istrinya, anggota DPR Fraksi Partai Nasdem Ary Egahni Ben Bahat sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemotongan anggaran dan suap di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Pasangan suami-istri itu diduga melakukan pemotongan anggaran, yakni dengan seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara. Keduanya diduga menerima aliran uang haram untuk biaya politik dan memuluskan suatu survei nasional.

Berdasarkan konstruksi lengkap perkara/ Ben Brahim selaku Bupati periode 2013–2018 dan 2018–2023 diduga menerima fasilitas dan sejumlah uang dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di Pemkab Kapuas. Pihak pemberi suap, termasuk dari beberapa pihak swasta.

Sementara itu, Ary selaku istri Ben yang juga merupakan anggota Komisi 3 DPR Fraksi Partai Nasdem diduga aktif turut campur dalam proses pemerintahan antara lain dengan memerintahkan beberapa Kepala SKPD untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dalam bentul pemberian uang dan barang mewah.

Temuan ini seolah mengonfirmasi Kementerian Dalam Negeri beberapa tahun lalu bahwa anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Bahkan, untuk level gubernur dapat mencapai ratusan miliar rupiah.

Lalu, ketika lingkaran setan biaya tinggi memicu korupsi, bagaimana cara memutusnya? Apa sesungguhnya faktor yang memunculkan politik biaya tinggi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Zaenur Rohman, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: