Bagaimana Posisi Undang-Undang TPPU dalam Mengatasi Besarnya Jumlah Transaksi Tidak Wajar?

Pencucian Uang
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Instansi Kementerian Keuangan seolah tak berhenti dirundung masalah. Setelah kasus kekerasan Mario Dandy Satrio yang menyeret nama Ayah Mario mantan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, kini Kementerian Keuangan kembali mendapat sorotan publik.

Hal itu setelah  Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya transaksi mencurigakan di Kemenkeu sebesar Rp300 triliun. Transaksi itu terdiri atas 200 laporan dan diduga melibatkan 460 orang di Kementerian Keuangan.

Atas temuan itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun buka-bukaan perihal transaksi janggal yang terjadi di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementeriannya. Sri Mulyani menyebut, sejak 2007 hingga 2023, pihaknya sejatinya telah menerima 266 surat dari PPATK terkait transaksi mencurigakan itu. Di mana dari 266 surat tersebut, 185 merupakan permintaan dari Kementeriannya.

Menurut Menkeu, jumlah pegawai yang disebut dalam surat PPATK tersebut yakni sejumlah 964 pegawai. Adapun dari 964 PNS itu merupakan akumulasi jumlah pegawai yang diidentifikasi oleh Kemenkeu, Inspektorat Jenderal, atau yang diidentifikasi oleh PPATK.

Lantas, bagaimana posisi UU TPPU dalam mengatasi besarnya jumlah transaksi tidak wajar? Apa saja Langkah-langkah kunci yang diperlukan untuk menghindari kebocoran penerimaan pajak mengingat dengan tax ratio yang optimal bisa menghindarkan bangsa Indonesia dari hutang, di samping bisa memangkas kemiskinan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Yenti Garnasih (Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)),  Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)), dan Yustinus Prastowo (Juru Bicara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: