Kenapa Eks Napi Masih Tetap Diajukan Menjadi Caleg oleh Parpol?

Caleg Bekas Maling Duit Rakyat
Ilustrasi/KupasTuntas

Semarang, Idola 92.6 FM – Secara umum, hal paling efektif dalam penanganan korupsi adalah adanya kewenangan aparatur hukum dalam hal perampasan aset para koruptor. Bila Undang-Undang terkait hal itu tidak pernah ada, negara justru akan terus dan terus dirugikan.

Bukankah negara yang justru harus keluar uang untuk biaya hidup para koruptor yang sudah dihukum penjara? Ini jelas adalah bentuk kerugian negara yang lain. Negara yang hanya bisa menghukum badan dengan memenjarakan, justru dibebani kewajiban untuk memberi hak hidup.

Makan, mandi, ruang penjara adalah cost yang tak perlu. Rampas dan kembalikan duit hasil rampokan, itulah cara paling masuk akal. Sehingga, peran para yang mulia anggota DPR untuk berani mengesahkan RUU Perampasan aset koruptor adalah hal paling ditunggu.

Itulah kenapa hingga hari ini, Kejaksaan Agung sangat berkepentingan agar Undang-undang itu segera disahkan. Data berkata, bahwa capaian penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan Agung dalam kurun waktu 2 tahun terakhir adalah sekitar Rp39 triliun.

Bila Undang-undang perampasan aset koruptor sudah berlaku, bukan hanya Rp39 triliun itu saja yang dapat diselamatkan tapi mungkin jauh lebih besar dan mendekati angka Rp152 triliun.

Sayangnya, ketika isu yang substansial belum juga beres, kenapa kita malah kembali mencalonkan para mantan napi sebagai Caleg?

Diketahui, sedikitnya, 52 mantan narapidana tercatat sebagai bakal calon anggota legistatif (caleg) Pemilu 2024. Mantan napi tersebut mencalonkan diri lewat sejumlah partai politik dan tersebar di berbagai daerah pemilihan.

Dari 18 partai politik peserta pemilu, hanya 4 partai politik yang tak mencalonkan bekas narapidana sebagai anggota legislatif yakni Partai Gelora, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara, parpol yang paling banyak mengajukan caleg mantan napi yaitu Partai Golkar. Adapun kasus yang menjerat bakal caleg tersebut bermacam-macam/ namun mayoritas perkara korupsi.

Lalu, kalau toh hukum pengizinkan, kenapa eks napi masih tetap diajukan jadi caleg oleh parpol? Apakah hal ini mengindikasikan sulitnya melalukan kaderisasi sehingga milih jalan yang mudah? Atau apakah ada faktor lainnya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, nanti kami akan berdiskusi dengan narasumber, yakni: Luthfi Makhasin, Ph.D (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto) dan Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perludem). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: