Survei World Bank, Separo Lebih Anak Indonesia Mengalami Learning Poverty: Maka, Apa yang Mesti Kita Lakukan?

Ilustrasi
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Semua anak mestinya bisa membaca pada usia 10 tahun. Sebab, membaca adalah pintu gerbang untuk dapat belajar saat anak melanjutkan sekolah—dan sebaliknya, ketidakmampuan membaca berarti menutup gerbang itu.

Selain itu, ketika anak tidak dapat membaca, biasanya merupakan indikasi yang jelas bahwa sistem sekolah tidak diatur dengan baik untuk membantu anak belajar di bidang lain seperti matematika, sains, dan humaniora. Meskipun memungkinkan untuk belajar di ‘kemudian hari’ dengan usaha yang cukup, tetapi anak-anak yang tidak dapat membaca pada usia 10 tahun—atau paling lambat, pada akhir sekolah dasar—biasanya gagal menguasai keterampilan membaca di kemudian hari dalam karir sekolah mereka.

Untuk menyoroti krisis ini, The World Bank memperkenalkan konsep Learning Poverty atau secara harafiah berarti: kemiskinan pembelajaran–dengan mengambil data baru yang dikembangkan dalam koordinasi dengan Institut Statistik UNESCO. Namun, pengertian Learning Poverty adalah: anak tidak mampu membaca dan memahami teks sederhana pada usia 10 tahun.

Indikator ini menyatukan indikator sekolah dan pembelajaran: dimulai dengan anak-anak yang belum mencapai kemampuan membaca minimum (yang diukur di sekolah) dan disesuaikan dengan proporsi anak yang tidak bersekolah (dan dianggap tidak mampu membaca).

Dengan menggunakan ukuran yang dikembangkan bersama oleh Bank Dunia dan Institut Statistik UNESCO telah menemukan bahwa 53 persen anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak dapat membaca dan memahami cerita sederhana pada akhir sekolah dasar. Di negara-negara miskin, levelnya mencapai 80 persen. Tingkat buta huruf yang tinggi seperti itu merupakan ‘tanda peringatan dini’ bahwa semua tujuan pendidikan global dan tujuan pembangunan berkelanjutan SDG’s lainnya, berada dalam bahaya.

Lalu, ketika survei World Bank mengungkapkan separo lebih Anak di Indonesia tidak bisa memahami kalimat bacaan sederhana: Maka apa masalah penghambatnya? Apa upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi -dengan sejumlah narasumber, antara lain: Yuli Kurniawati Sugiyo Pranoto, S.Psi., M.A., D.Sc. (Lektor Kepala (Ketua Program Studi S2) FIP-Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini) Universitas Negeri Semarang) dan Dhitta Puti Sarasvati (Pakar dan praktisi Gerakan Nasional Berantas Buta Membaca (Gernas Tastaba) dan Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika (Gernas Tastaka)) (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: