DPR Sahkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi Undang-Undang

Bagaimana Mencegah Munculnya Diskriminasi terhadap Perempuan di Lapangan Kerja?

Sah, UU KIA untuk ibu melahirkan
Ketua DPR RI Puan Maharani menyerahkan berkas pengesahan. (photo/istimewa)

Semarang, Idola, 92.6 FM – DPR menyetujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan disahkan menjadi undang-undang, Selasa 4 Juni 2024. RUU ini, antara lain mengatur cuti ibu hamil dan melahirkan serta suaminya. Undang-undang ini diharapkan bisa menyelesaikan masalah ibu dan anak pada fase 1000 hari pertama kehidupan.

Persetujuan DPR atas pengesahan RUU ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani di Ruang Sidang Paripurna DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta. RUU KIA merupakan inisiatif DPR yang proses legislasinya dimulai sejak September 2022.

Beberapa poin penting dalam UU KIA yang disahkan DPR RI, antara lain:

Pertama, perubahan judul dari RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi RUU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

Kedua, penetapan definisi anak dalam RUU KIA pada fase seribu hari pertama kehidupan adalah kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan berusia dua tahun. Sementara itu, definisi anak secara umum dapat merujuk pada UU Perlindungan Anak.

Ketiga, perumusan cuti bagi ibu pekerja yang bersalin, paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Setiap ibu yang bekerja dan melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya.

Disahkannya RUU ini menjadi “angin segar” atas kehadiran negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Namun, bagaimana mencegah munculnya diskriminasi terhadap perempuan di lapangan kerja kalau perusahaan tidak mau menggaji karyawan untuk cuti selama 6 bulan? Bagaimana agar kelak tidak semakin banyak syarat “wanita single” di lowongan pekerjaan? Serta, bagaimana mencegah Perusahaan meminta pekerja perempuan untuk membuat surat pernyataan bersedia tidak hamil?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Euis Sunarti (Guru Besar Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga IPB University), Prof Alimatul Qibtiyah (Komisioner Komnas Perempuan/Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Iskan Qolba Lubis (Anggota komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: