Polemik Menghidupkan Kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Apa Plus-Minusnya?

Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Dewan Pertimbangan Agung (DPA). (Ilustrasi/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Wacana pembentukan Presidential Club yang digagas oleh presiden terpilih Prabowo Subianto terus berembus. Kini, muncul gagasan, Presidential Club diformalitaskan menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) seperti dahulu. Hal itu disampaikan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo beberapa waktu lalu.

Atas usulan itu, beragam reaksi bermunculan. Mereka yang tak setuju menilai, ide menghidupkan kembali DPA sulit untuk direalisasikan karena harus mengamendemen UUD 1945. Selain itu, DPA adalah struktur ketatanegaraan di masa Orde Baru, dan telah dihapus di era Reformasi. Akan lebih bagus konsep Prabowo Subianto yang ingin membentuk Presidential Club, diperuntukan bagi para mantan presiden.

Sementara itu, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla menilai, DPA tidak perlu dihidupkan lagi lantaran sudah terdapat Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres sebagai pengganti DPA. Keberadaan lembaga yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden memang masih tetap diperlukan tetapi statusnya menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan negara yang berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Keberadaan Wantimpres diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2006.

Lalu, menyorot polemik menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA); Apa plus-minusnya? Apakah gagasan ini merupakan sebuah langkah terobosan atau justru kemunduran?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Ibu Hurriyah (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI)) dan Manunggal K Wardaya, PhD (Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed) Purwokerto).ย (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: