Menyorot Pro-Kontra RUU Penyiaran

Pers
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Draf Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tengah dibahas di Badan Legislasi DPR menuai kritik dari pelbagai pihak.

Sejumlah pihak menyoroti salah satu pasal paling kontroversial yakni Pasal 56 Ayat 2 C, yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Larangan tersebut dinilai sebagai wujud pembungkaman pers dan ekspresi media.

Sementara itu, Dewan Pers secara terang-terangan menyatakan menolak RUU Penyiaran yang disusun DPR. DPR bakal berhadapan dengan komunitas pers apabila terus melanjutkan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Dewan Pers memiliki sejumlah argumen atas sikap menolaknya tersebut. Di antaranya karena menilai RUU itu dapat menjadi penyebab pers di Indonesia tidak merdeka, tidak independen, serta tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas. Dewan Pers juga menyoroti proses penyusunan RUU yang dinilai tak melibatkan partisipasi masyarakat atau meaningful participation. Secara substantif, Dewan Pers menyoroti larangan media investigatif hingga proses penyelesaian sengketa jurnalistik.

Lalu, menyorot pro-kontra RUU Penyiaran; apa saja poin krusial yang membuat RUU ini banyak mendapat penolakan dari insan pers? Bagaimana insan pers menyikapi RUU Penyiaran tersebut?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Pakar Media dari Universitas Airlangga Surabaya, Irfan Wahyudi. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: