Pro Kontra Wacana Pengembalian Pilkada oleh DPRD, Apa Baik-Buruknya?

Pilkada
ilustrasi/antaranews

Semarang, Idola 92.6 FM – Partisipasi rakyat dalam Pemilu merupakan bentuk kedaulatan penuh. Oleh karena itu, partisipasi rakyat menjadi bagian yang krusial. Buah Reformasi 1998 itu terwujud dalam pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada), legislatif, hingga presiden dan wakil presiden secara langsung.

Namun, baru-baru ini muncul wacana pengembalian Pilkada tak lagi dipilih langsung oleh rakyat melainkan oleh DPRD. Hal itu bergulir setelah Pimpinan MPR bertemu dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Senin (10/10) lalu.

Para pimpinan MPR sebelumnya terlibat pembicaraan serius agar pilkada tak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan cukup dipilih oleh DPRD. Menurut Ketua MPR-Bambang Soesatyo, langkah mengembalikan pilkada tingkat legislatif level daerah atau DPRD itu sah dilakukan. Menurutnya, proses itu tetap demokratis dan sesuai dengan Pancasila. Lebih jauh, ia khawatir pilkada langsung justru semakin menyengsarakan kehidupan rakyat, karena ruang korupsi di daerah semakin terbuka.

Pilkada oleh DPRD
Pro Kontra Pilkada oleh DPRD. (Photo/Detik)

Wacana ini pun menuai pro dan kontra. Salah satu pihak yang menolak adalah LBH Jakarta. Mereka menilai, kebijakan itu akan mempersempit kedaulatan rakyat jika akhirnya diterapkan.

Kita pahami, memang ada paradoks dalam pelaksanaan Pilkada langsung sejauh ini. Di satu sisi, atas nama kedaulatan Pemilihan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat tapi, pada praktiknya seperti hanya memberi “privilege” hanya kepada para pemilik modal. Sementara, ketika Pilkada kembali melalui DPRD maka hal itu juga berpotensi diselewengkan, dan membuka ruang terjadinya praktik ‘dagang sapi’ di antara anggota dewan; Lalu, mana yang lebih baik?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Arsul Sani (Wakil Ketua MPR RI), Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perludem), dan Dr. Agus Riwanto, SH (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: