Pro Kontra Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa

Apa Urgensi Perpanjangan Masa Jabatan Kades sehingga Muncul di Tahun Politik?

Politisasi Kades
Massa dari Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (17/1/2023). (Photo/ANTARA FOTO)

Semarang, Idola 92.6 FM – Sejumlah kepala desa dari berbagai wilayah beberapa hari lalu, menggelar aksi unjuk rasa untuk menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Menurut mereka, masa 6 tahun dalam satu periode dirasa tidak cukup untuk membenahi dan memajukan desa. Selain itu, mereka juga beralasan, polarisasi warga yang sulit diredam pasca-pemilihan kades membuat pekerjaan kades sulit terealisasi dalam waktu enam tahun.

Wacana itu pun sontak menuai pro dan kontra– baik oleh organisasi perangkat desa lain, maupun dari kalangan pegiat demokrasi hingga antikorupsi. Mereka menilai, wacana perpanjangan masa jabatan yang dilontarkan hanya untuk memanfaatkan momen Pilkada dan Pemilu 2024 oleh para kades dan politisi. Selain itu, perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun juga rawan “tindakan korupsi” karena terlalu lama berkuasa. Merujuk pada data KPK, sejak 2012 hingga 2021, tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia dan sebanyak 686 kepala desa terjerat dalam kasus tersebut.

Sebelumnya, para kepala desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) melakukan aksi damai ke Jakarta untuk demo di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 17 Januari 2023. Mereka meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Perkembangan terkini, Komisi II DPR telah resmi mengusulkan revisi Undang-Undang Desa terkait wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun dalam satu periode.

Lantas, memahami pro kontra wacana perpanjangan masa jabatan kades dari 6 tahun ke 9 tahun: apa urgensi perpanjangan masa jabatan Kades, sehingga harus muncul di tahun politik? Bukankah jadi terkesan sebagai tawaran “mutual benefisial” antara Kades dengan Legislatif?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Wasisto Raharjo Jati (Peneliti di Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP – BRIN)), Armand Suparman (Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)), dan Dr Adam Muhshi (Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: