Alih-alih menghabiskan lebih banyak uang untuk beriklan, Nestlé menyewa seorang psikoanalis untuk memecahkan problem tersebut.

Pada saat itulah Nestlé mempekerjakan Clotaire Rapaille, seorang psikoanalis dan pakar pemasaran dari Prancis, untuk mencari tahu mengapa orang Jepang tidak minum kopi.

Sang pakar pemasaran itu berhasil menemukan ‘akar masalahnya’: Yaitu orang-orang Jepang mengembangkan ‘ikatan emosional’ dengan makanan yang mereka kaitkan dengan masa kanak-kanak.

Jadi, orang Jepang tidak memiliki hubungan masa kanak-kanak dengan kopi.

Lalu, bagaimana solusinya?

Clotaire merekomendasikan agar menjual kopi kepada anak-anak, tetapi bukan sebagai kopi.

Ia memberi tahu Nestlé untuk melupakan penjualan kopi kepada orang dewasa … dan fokus pada permen rasa kopi untuk anak-anak.

Maka sejak saat itu Nestlé membanjiri pasar dengan:

Permen rasa kopi, makanan penutup seperti jeli dengan rasa kopi, dan cokelat yang dicampur dengan kopi.

Pada tahun 1980-an, banyak dari anak-anak yang ‘telah dikondisikan’ dengan cita rasa kopi memasuki dunia kerja. Mereka sudah terbiasa dengan rasa kopi, sehingga sekarang mereka benar-benar membutuhkan kafein.

Pada titik inilah, Nestlé memperkenalkan kembali kopi instan ke Jepang, dan kali ini, kopi instan melejit seperti api yang membakar.

Pada tahun 2014, konsumsi kopi di Jepang mencapai rekor tertinggi. Sehingga sekarang ini, Jepang mengimpor lebih dari 500.000 Ton kopi setiap tahunnya. Dan Nestlé adalah pemimpin pasar yang tak terbantahkan di Jepang. (ao)