Semarang, Idola 92.6 FM – Polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah terus bergulir. Terbaru, sejumlah partai politik bahkan terang-terangan menolak putusan MK tersebut.
Setelah Partai Nasdem, giliran Partai Keadilan Sejahtera yang menyuarakan kritik keras. Ketua Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru menilai, putusan tersebut melanggar amanat Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu digelar setiap lima tahun sekali.
Sementara itu, Anggota Komisi 2 DPR RI dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan menyebut, putusan MK tersebut perlu dikaji secara mendalam dengan mempertimbangkan segala aspek secara komprehensif. Menurutnya, putusan itu perlu didalami agar tidak bertentangan dengan konstitusi.
Senada, Pemerintah sendiri kini masih mengkaji putusan MK tersebut. Sejumlah aspek masih akan dibahas. Mulai dari kesesuaian putusan dengan konstitusi hingga potensi dampaknya terhadap sistem politik dan hukum di Indonesia.
Sebelumnya, putusan MK yang dibacakan Kamis 26 Juni 2025 menyatakan, pemilu nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD, digelar lebih dulu. Sementara, pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah baru dilaksanakan sekitar dua hingga dua setengah tahun kemudian.
Lalu apa plus-minus putusan MK yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah? Dan mengapa sejumlah partai politik cenderung menolak putusan MK tersebut?
Untuk mengulas persoalan ini, radio Idola Semarang berbincang dengan narasumber: Prof Muchamad Ali Syafaat (Ahli Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang) dan Luthfi Makhasin, PhD (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto).ย (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: