RUU Antiterorisme, Apa Kabar?

Semarang, Idola 92.6 FM – Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak cukup memberikan kekuatan bagi aparat untuk mencegah aksi terorisme. Untuk itu revisi undang-undang ini diperlukan. Namun sayangnya pembahasan revisi UU antiterorisme tersebut berlarut-larut. Padahal, payung hukum sangat krusial sebagai upaya pre-emtif untuk menanggulangi aksi terorisme. Apalagi di tengah suasana genting dan darurat terorisme yang telah memakan korban jiwa-jiwa tak berdosa. Terakhir, peristiwa serangan bom yang dilakukan teroris di 3 gereja dan depan Mapolrestabes Surabaya.

Perkembangan terakhir, Pemerintah dan DPR sepakat secepatnya menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Antiterorisme. TNI akan dilibatkan dalam pemberantasan teroris. Pernyataan tersebut disampaikan Menko Polhukam Wiranto dalam jumpa pers, Senin kemarin. Menurutnya, ada sejumlah hal krusial yang sebelumnya masih diperdebatkan–termasuk soal definisi terorisme dan pelibatan TNI kini sudah ada kesepakatan.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyampaikan agar payung hukum bagi pemberantasan korupsi segera diselesaikan. Jokowi menyebut revisi UU Antiterorisme sudah 2 tahun dibahas DPR dan belum juga selesai. Jika tak kunjung disahkan, Kapolri mendesak Presiden mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perppu antiterorisme.

Lantas, bagaimana mestinya pemerintah menyikapi masih molornya pembahasaan RUU Antiterorisme? Perlukah pula Presiden mengeluarkan Perppu jika RUU masih berlarut-larut di tengah situasi darurat terorisme? Lalu, apa sesungguhnya pokok persoalan yang membuat molornya RUU Antiterorisme ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Radio Idola Semarang mewawancara Satya Widya Yudha (Wakil Ketua Komisi I DPR RI). [Heri CS]

Berikut diskusinya: