Kepala Kantor OJK Jateng Hidayat Prabowo (kanan) saat bertemu Gubernur Ahmad Luthfi.

Semarang, Idola 92,6 FM-OJK mencatat, pada 2024 hingga 2025 ada BPR/BPRS di seluruh Indonesia terpaksa ditutup maupun dicabut izin usahanya.

Dari data yang ada, empat BPR dan satu BPRS diketahui berada di wilayah Jawa Tengah.

Penutupan BPR/BPRS itu, mayoritas disebabkan lemahnya penerapan tata kelola dan manajemen risiko sehingga berdampak pada penyalahgunaan keuangan atau fraud dari segi aktivitas kredit maupun aktivitas pendanaan serta aktivitas operasional.

Kepala Kantor OJK Jateng Hidayat Prabowo mengatakan kinerja BPR/BPRS di Jateng terpantau masih cukup baik walaupun kredit BPR/BPRS di provinsi ini terkontraksi sebesar -2,73 persen (yoy). Hal itu dikatakan saat ditemui di kantornya, Senin (7/7).

Menurut Hidayat, rasio NPL gross di Jateng sebesar 16,69 persen diindikasikan bahwa rasio risiko kredit pada BPR/BPRS di provinsi ini cukup tinggi.

Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian tidak hanya OJK saja tapi seluruh stakeholder terkait.

“Risiko terbesar tetap risiko kredit, ya. Karena itu usaha utama BPR/BPRS adalah kredit. Jadi, tetap risikonya adalah risiko kredit dan risiko operasional. Tentunya kita perlu komitmen yang lebih tinggi dari pemegang saham pengendali, kaitannya dengan konsolidasi perbankan, BPR/BPRS. Karena itu sudah menjadi strategi utama OJK, sebab kita yakini bahwa itulah yang menguatkan BPR/BPRS,” kata Hidayat.

Hidayat menjelaskan, untuk kinerja industri jasa keuangan (IJK) non bank dan pasar modal di wilayah Jateng-DIY masih tumbuh stabil dengan tingkat risiko terjaga.

Namun, tetap perlu mendapat perhatian dari seluruh stakeholder agar tetap berkinerja dengan baik.

“Ada berbagai permasalahan perbankan dan industri keuangan non bank, yang telah terekspos kepada publik dan mengakibatkan kerugian finansial. Masih ditemukan praktik-praktik pengelolaan bisnis IJK yang tidak sehat,” pungkasnya. (Bud)