Semarang, Idola 92.6 FM-Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan bersejarah melalui permohonan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menguji konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) dan penjelasannya dari UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Putusan ini menegaskan bahwa polisi aktif–termasuk Kapolri, tidak bisa merangkap jabatan sipil. Jika mereka ingin menduduki jabatan sipil, harus terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun dari korps Polri.
Keputusan MK ini langsung memicu perdebatan publik: ada yang menyambut positif karena menegakkan pemisahan tugas antar institusi Negara. Namun, ada juga yang khawatir dan bertanya: apakah hal ini bisa melemahkan peran Polri sebagai institusi sipil pasca reformasi? Bahkan, bagaimana dampaknya pada stabilitas kepemimpinan di Polri, efektivitas penegakan hukum, dan sistem rekrutmen jabatan politik maupun administratif di Indonesia?
Lalu, mencermati putusan MK bahwa Polri aktif tak boleh rangkap jabatan; apa implikasi dari putusan MK tersebut? Apakah putusan ini mencerminkan prinsip pemisahan fungsi negara yang lebih bersih? Atau justru membatasi fleksibilitas lembaga seperti Polri dalam berkontribusi di pemerintahan sipil?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Aan Eko Widiarto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang/ahli Hukum Tata Negara) dan Bambang Rukminto (Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)). (her/yes/dav)
Simak podcast diskusinya:













