“Membaca adalah pintu masuk terbaik menuju masa depan, karena dari situlah imajinasi, empati, dan pengetahuan bertemu.”
Neil Gaiman
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI, Kamis (20/11), meluncurkan kebijakan yang mewajibkan siswa membaca buku dan menulis resensi. Menteri Abdul Mu’ti menegaskan bahwa tanpa budaya membaca dan menulis, mustahil Indonesia menjadi bangsa maju. Beliau juga menyoroti lemahnya kemampuan siswa dalam memahami teks naratif—yang selama ini menjadi salah satu penyebab rendahnya capaian literasi Indonesia, baik dalam asesmen nasional maupun internasional.
Kebijakan ini tentu sangat baik dan tentunya kita mendukungnya tetapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa program serupa sebelumnya kerap berhenti di tengah jalan. Namun, evaluasinya, implementasi lemah, seolah hanya menjadi “kegiatan seremonial,” dan tidak benar-benar membentuk kebiasaan membaca pada siswa.
Karena itu, agar kebijakan baik ini betul-betul optimal dan tak sebatas syarat seremonial, kami hendak mendiskusikan sertai mengurainya. Dan, besar harapan menjadi kritik konstruktif sebagai bentuk dukungan terhadap program pemerintah dalam meningkatkan budaya literasi pada siswa.
Lalu, bagaimana memastikan kebijakan wajib membaca dan menulis resensnyai bagi siswa ini benar-benar berjalan di sekolah? Apa syarat ekosistemnya? Apa tantangan guru yang kita ketahui sudah memangku “beban” berat mengajar dan administrasinya? Bagaimana pula memastikan kegiatan ini menjadi budaya yang mengakar, bukan sekadar kewajiban administratif?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr Martadi, M.Sn (Pengamat pendidikan & wakil rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa)) dan Satriwan Salim (Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)). (her/yes/dav)
Simak podcast diskusinya:













